Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Journey of Kuliner di Kalimantan (1): Awal Perjalanan

1 Juli 2010   00:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:10 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_181887" align="alignnone" width="300" caption="foto oleh Benny Candra, diunduh melalui www.flickr.com"][/caption]

Kisah ini sudah lama berlalu, tetapi tetap hangat di kalbu. Meski sudah melewati batas 18 purnama, tetap memiliki makna. Kisah ini adalah cerita mengenai perjalanan pertama saya ke luar pulau sendirian. Menurut ungkapan, ‘kesan pertama begitu menggoda..’ dan saya tidak kuasa melanjutkannya.

Awalnya saya sempat ragu untuk memberi judul kisah ini journey of kuliner. Karena tujuan utama saya memang bukan untuk makan-makan. Ada tugas, mekipun di tengah liburan. Atau sebaliknya, karena liburan, dan agar bisa diperpanjang, sekalian menjalankan tugas.

Menceritakan perjalanan tugas rasanya kurang pantas. Menceritakan liburan juga terasa arogan. Sudahlah, menceritakan mengenai makanan saja. Meskipun akhirnya tidak melulu makanan.

Awal tahun 2009, 1 Januari jam 04.30 pagi hari, saya dijemput mobil travel untuk pergi ke bandara Juanda-Surabaya. Jalanan sepi, sisa perayaan malam tahun baru masih sangat terasa. Setelah putar-putar menjemput penumpang, mobil benar-benar meninggalkan kota Malang sekitar pukul 05 lewat 20-an menit. Kendaraan kami sepertinya ‘tak ada lawan’, meluncur sendirian, hingga sampai di bandara baru jam 06.30. Yah, sejam sampai dari Malang ke Surabaya benar-benar luar biasa. Pagi itu benar-benar milik kami.

O iya, kali ini saya hendak berpetualang ke Kalimantan. Seperti yang saya katakan tadi, memanfaatkan cuti tahunan yang saya ambil di akhir tahun hingga awal tahun. Mengunjungi saudara yang merantau di tanah seberang. Sekaligus menambah saudara di tempat baru, menjelajah kota, menikmati rasa. Di tengah tugas, liburan terlaksana. Di tengah melemaskan pikiran sebagian pekerjaan terselesaikan. Sungguh nyaman.

Memang nikmatnya rasa hidup bersaudara sungguh tertuang dalam acara makan bersama. Dan cerita petualanganpun menjadi berarti karena dihiasi acara mengunjungi warung nasi. Rangkaian cerita ini sebenarnya biasa saja. Hanya berkisah mengenai makan-makan, tetapi juga diselingi bumbu perjalanan dan kisah-kisah perjumpaan.

Menunggu

Pesawat yang saya tumpangi baru akan terbang jam 11.40. Maka tiba di bandara jam 6.30 memang sungguh kepagian. Begitu sampai di emperan bandara saya segera bergegas mencari sarapan, maksudnya membeli. Tentang sarapan di bandara ini tidak perlu dibahas. Saya hanya sarapan nasi lodeh yang tidak terlalu jelas bentuknya ditambah lauk daging. Itu saja.

Selepas sarapan saya langsung masuk dan mencari bangku kosong untuk istirahat. Maksud hati melanjutkan tidur yang terpotong. Masih banyak waktu untuk membingkai mimpi yang tadi pagi sempat terhenti. Dan lagi, tidak mungkin langsung check in. Loketnya saja belum buka. Yang sudah buka adalah counter untuk tujuan dan jam penerbangan yang lebih pagi.

Ternyata mencoba tidur di pojok ruang tunggu, dengan bangku yang memang dirancang untuk duduk, memang tidak nyaman. Maka sekitar jam 08.00 saya mencoba check in, dan saya merupakan orang pertama yang melakukannya untuk tujuan Sampit. Sehabis itu saya langsung naik ke lantai 2 dan berjalan-jalan sejenak.

Gerai buku menjadi tujuan saya. Sebenarnya hati ini tidak begitu pede untuk masuk ke toko buku itu. Pertama yang dijual hanya buku/majalah berbahasa Inggris. Kedua harganya juga lumayan berat buat kantong. Setelah berlagak mengamati tiap item dengan saksama, maka saya pilih satu buku karangan Paulo Coelho, A Warrior of The Lihght. Sebuah buku kumpulan catatan-catatan pendek. Jadi bisa saya baca secara acak. Sesuai kosa kata yang saya tahu.

Jam 10.30 saya masuk ke ruang tunggu. Ternyata penumpang yang hendak ke Sampit banyak juga. Ruang tunggu itu lumayan penuh. Jam 11.20 kami dipersilahkan masuk pesawat melalui pintu 5. Kursi saya di bagian depan, kursi nomor 2a. Hasil check in kepagian. Lumayanlah.

Di samping saya duduk seorang ibu dan putrinya yang masih kecil, mungkin berusia 2 tahun. Saya tidak tahu, karena tidak tanya-tanya. Saya juga tidak mau menduga-duga ke mana gerangan suaminya kok pergi sendiri. Dia sibuk menenangkan anaknya yang agak rewel. Rupanya si anak tidak mau naik pesawat, dia ingin naik motor. Ia begitu ngebet hingga nangis.

Setelah 10 menitan mengudara si anak tertidur. Saya mencoba membaca buku. Sebenarnya tidak benar-benar bisa membaca. Bukan saja karena bahasanya tidak terlalu bisa saya pahami. Tetapi pikiran saya tidak ada di sana. Bayangan saya sudah jauh melebihi laju pesawat, sudah berada di tanah Kalimantan. Membayangkan rupa dan gaya adik saya. Membayangkan perkebunan dan kesegaran.

Dan menunggu apa yang kubayangkan terjadi sungguh melelahkan. Entah karena itu atau memang kurang tidur, aku terlelap. Tidak terlalu lama, karena sebenarnya hatiku ada berbagai kecamuk rasa. Gembira yang seperti baru dapat pacar pertama. Seperti bocah yang mendapat oleh-oleh dari mamanya. Juga keraguan, ketakutan. Tak tahulah, menunggu pesawat mendarat juga melelahkan. Entahlah.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun