[caption id="attachment_145806" align="alignnone" width="240" caption="foto diunduh dari www.indonesiaberprestasi.web.id"][/caption] Siapa tidak mengenal lagu Bengawan Solo? Jika dia orang Indonesia, mesti dipertanyakan ke-Indonesiaannya. Lagu yang begitu fenomenal, karya besar dari Gesang yang hari ini berpulang.
Gesang Martohartono, demikian nama lengkap seniman keroncong ini. Lahir di Surakarta-Solo 1 Oktober 1917.Ayahnya adalah pengusaha batik yang mengalami kebangkrutan ketika ia masih remaja. Mulai dari sana mereka menjadi miskin.
Gesang menyukai musik sejak muda. Dengan menggunakan flute ia mulai memainkan nada-nada bernuansa Jawa. Pengaruh Portugis yang sempat mampir ke Indonesia memperkenalkannya pada jenis musik baru, yaitu keroncong.
Seniman dengan dedikasi
Gesang adalah salah satu dari sekian banyak seniman yang hidup dengan penuh dedikasi. Mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati, hingga hasilnya abadi. Semisal lagu Bengawan Solo yang beliau ciptakan. Lagu itu akan sangat lekat dengan sosok Gesang dan Musik keroncong. Ketika kita berbicara Gesang, kita pasti menyinggung lagu Bengawan Solo, ketika kita berbicara lagu Bengawan Solo, pasti kita berbicara musik keroncong, dan ketika kita berbicara musik keroncong, kita tidak akan pernah meninggalkan Gesang.
Seperti halnya banyak seniman yang dengan dedikasi tinggi memelihara kekayaan batin dan menjaga dengan segenap raga hasil budaya, biasanya mereka bukan orang-orang yang mengejar materi. Kebanyakn dari mereka berkarya karena mengabdi seni demi lestarinya budaya negeri. Hal ini patut dihormati dan dihargai tinggi.
Mengalir…
Sebelum membuat catatan singkat ini, tatkala membaca kabar meninggalnya beliau, spontan kalimat yang masuk ke dalam kepala saya adalah ‘mengalir sampai jauh.’ Kalimat dalam lagu Bengawan Solo yang sangat terkenal. Bahkan dengan gaya hiperbola, saya mengatakan, orang Indonesia yang tidak kenal lagu Bengawan Solo pantas dipertanyakan ke-Indonesiaannya.
Kembali kepada frase ‘mengalir sampai jauh’ adalah merujuk pada air dari sungai Solo yang mendapat sumbernya dari Gunung Seribu. Ia mengalir sampai jauh dan akhirnya ke laut. Para pedagang pada waktu lampau menggunakannya juga sebagai jalan berlayar. Bukan hanya itu, banyak sawah, ternak, bahkan manusia mengambil sumber kehidupan dari air yang mengalir sampai jauh itu.
Air, memberi kehidupan kalau ia mengalir baik. Kalau ia berhenti, akan banyak binatang bertelur dan mulailah menetas dan menyebar berbagai binatang pembawa penyakit. Air yang mengalir baik akan membagi sumber kehidupan ke mana-mana. Air yang berhenti akan mengundang banyak bahaya.
Sifat air itu mengalir. Ia selalu mencari tempat yang lebih rendah. Ia hanya mengikuti dan tidak pernah meminta supaya menjadi. Ia hanya mengikuti, mengalir, dan pada akhirnya memang menjadi. Ia hanya menuruti wadah dan jalan di mana ia berlalu. Dan semuanya akan berkumpul dalam satu wadah yang sama, yaitu lautan.
Penutup
Kepergian Gesang mengingatkan akan jalan manusia yang juga mengalir. Semua manusia mengikuti jalannya masing-masing. Mereka harus mengalir dan pada saatnya samapai pada wadah terakhir. Wadah terakhir itu adlah berbahagia bersama Tuhan. Manusia yang mengalir menuju kepada tempatnya terakhir, mesti juga menyebarkan nilai yang baik, seperti air yang mengalir memberi nilai tanbah apa yang ia lewati.
Setiap sungai membawa airnya ke laut. Demikian hendaknya kita, apapun jalan yang kita pilih, mestilah menghantarkan pada Tuhan, wadah terakhir kita. Selamat jalan Gesang, semoga kita bertemu kelak di ‘lautan’ yang abadi.
Salam.
Melbourne, 20-05-2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H