Namanya Nina. Matanya bening menatapku tak berkedip. Mungkin dia bingung, kok ada ya orang hitam begitu sedang ia putih bersih. Rambutnya keemasan dijepit di dua sisinya. Mengenakan jaket warna pink ia sungguh sangat menarik perhatian.
Sudah beberapa minggu ini ia jadi perhatianku. Kami biasa bertemu di gereja setiap kali ada misa. Hanya pagi ini aku memiliki kesempatan cukup lama untuk menatap bening matanya.
Rupanya bukan hanya aku yang terpesona dengan bening mata Nina. Setiap mata di dalam gereja selalu menoleh setiap kali melihatnya dan mereka pasti melambaikan tangan. Nina, dengan bening matanya biasanya hanya tersenyum.
Sejujurnya kami semua terpesona bukan hanya oleh bening matanya, oleh kepolosannya. Kami semua terpesona oleh kehadiran mereka. Ya mereka. Nina tidak pernah hadir sendiri. Ia selalu bersama ibunya. Senyum ramah dan bening mata Nina sungguh menurun dari ibunya.
Pertama kali kami melihat mereka di gereja, aku mengira malaikat yang sedang turun ke bumi. Malaikat yang membagikan senyum damai kepada kami yang murung diterpa hawa dingin. Ya, mereka datang dan membagi senyum kepada kami semua. Kami tak kuasa untuk tidak membalasnya.
Demikianlah berikutnya setiap pagi, para malaikat ini datang dan mengoyak hati kami. Sungguh kehadiran mereka yang membawa senyum itu sanggup mengoyak hati kami yang keras dan dingin untuk menjadi cair dan segar. Mereka telah menunjukkan arti sebuah kehidupan.
Namanya Nina. Bersama ibunya mereka telah menjadi malaikat yang membuat hati kami terus teraduk tatkala mereka datang. Nina selalu berada dipangkuan ibunya, karena ia baru berusia 17 bulan. Senyum polosnya benar-benar sebuah ketulusan. Matanya yang bening sungguh cerminan mata suci tak tersentuh dosa.
Sementara itu yang mengoyak hati kami adalah kondisi ibunya. Ia selalu datang sembari memangku Nina, walu dia mesti berada di kursi roda. Kami semua tidak tega untuk bertanya apa penyebab sehingga ia mesti berada di kursi roda. Yang kami lihat adalah ketegaran seorang ibu, yang ke mana-mana selalu memangku anaknya sembari mengayuh kursi roda.
Senyum mereka yang mengembang tulus, sungguh mampu meremukkan hati kami yang keras, yang membeku didera angin dingin. Tak kulihat mereka seolah-olah tersenyum dan seolah-olah bahagia. Senyum mereka tulus dan ketegaran mereka terpancar nyata. Mereka sungguh tersenyum dan sungguh bahagia.
Sahabat, kubagikan kisah kecil ini sebagai penyemangat. Mungkin seharian kalian lelah diterpa banyak pekerjaan dan beban. Mari kita syukuri, karena terkadang, dan bahkan kerapkali, ada banyak orang kurang beruntung dibanding apa yang kita dapatkan.
Salam
Melbourne, 06-05-2010
(maaf tidak bisa berbagi foto, tidak sampai hati untuk memfoto mereka)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H