Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Untung Ada Dangdut!

11 April 2010   07:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_115910" align="alignnone" width="500" caption="Sahabat Gonti Manulang OFM dan Pak Yanto sedang semangat mendendangkan lagu Sinanggartulo, foto oleh dwi s."][/caption]

Kawan, kemarin saya bercerita mengenai rujak. Makanan kampung halaman yang kerap singgah di pikiran saya. Ia singgah minta jatah diwujudkan. Kemarin malam, dalam pertemuan dengan teman-teman Indonesia, saya mendapat satu lagi obat kangen. Namanya lagu dangdut.

Biar mau dikatakan kampungan, tetapi harus saya katakan, lagu dangdut itu obat kangen. Ketika bernyanyi dan bergoyang dangdut rame-rame, serasa sudah berada di kampung. Serasa bergoyang di panggung tujuh belasan di balai desa, dahulu kala ketika masih tinggal di rumah orangtua.

Sebagai seorang pendamping migran, tugas saya adalah mengunjungi mereka. Terkadang diisi doa bersama atau diskusi dan sarasehan yang menyegarkan pengetahuan dan iman. Tiap Sabtu kedua dalam bulan, saya mengunjungi keluarga-keluarga Indonesia Katolik yang ada di daerah Clayton, di sekitar daerah Monash University. Semalam, setelah diisi dengan sarasehan, acara kami lanjutkan dengan makan bersama dan karaoke bersama.

Untung ada lagu dangdut, sehingga bisa menjadi obat kangen kampung halaman. Ya untung ada lagu dangdut sehingga saya bisa bernyanyi dan bergoyang. Setelah bernyanyi ada yang bertanya, “kok tidak malu bernyanyi dangdut?” Kemudian saya jawab, “kenapa malu?” “Nggak takut dikatakan kampungan?” terangnya.

“Apa nggak takut dikatakan kampungan?” Pertanyaan itu saya renungan ketika badan sudah berbaring di kasur. Iya ya, mengapa saya tidak malu menyanyikan lagu dangdut? Mengapa saya tidak malu bergoyang dan berdendang dangdut?

Rupanya memang ada yang malu dan tidak mau bersentuhan dengan lagu dangdut karena takut akan dicap kampungan. Padahal menurut saya dangdut bukan lagu kampungan. Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis mengenai musik jazz dan selera musik. Kemudian sahabat kompasioner yang lain melengkapi dengan menulis mengenai musik dangdut. Karena saya lupa di mana tempatnya, saya tidak bisa mengatakan apa yang ditulis oleh sahabat kompasioner itu mengenai dangdut.

Tetapi baiklah saya bagikan refleksi saya mengenai dangdut, tentu versi saya sendiri dan sangat subjektif. Bagi saya musik dangdut itu tipikal masayakat Jawa atau Indonesia pada umumnya. Mengapa begitu? Karena dalam musik dangdut, lagu apa saja bisa dibuat goyang. Entah sedih entah gembira juga tetap bisa buat bergoyang. Musik dangdut tanpa goyang akan kehilangan makna. Saya tidak mengatakan bahwa goyangnya harus seronok.

Itu tipikal orang Jawa. Apa pun yang terjadi mereka masih bisa berkata ‘untung…’. Meskipun dalam situasi yang sulit, yang menyedihkan, mereka masih bisa berkata , ‘untung…’. Saya pikir sikap ini sungguh luar biasa. Karena dalam bahasa yang berbeda kita bisa mengatakan bahwa sikap seperti itu adalah sikap yang penuh syukur. Bahkan dalam kesulitan pun masih bisa bersyukur.

Hal ini tentu berbeda sama sekali dengan orang-orang yang selalu merasa kurang dan mengeluh. “Aduh! Mestinya ada…” Sudah memiliki banyak pun, sudah memperoleh melimpah pun, sudah melakukan yang terbaik pun, masih berkata, “Aduh! Mestinya…” Ini bisa dikatakan tipikal orang yang tidak bisa bersyukur.

Kawan, untung semalam saya bergoyang dan bernyanyi dangdut. Karena dengan itu saya diingatkan untuk tahu bersyukur dan berterimakasih. Seperti lagu dangdut yang selalu enak dibuat goyang, begitulah hidup, selalu ada bagian dan alasan untuk mengucap syukur. Untung… ada dangdut!

Salam

Melbourne, 11-04-10

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun