Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dikasih Hati Minta Jantung Plus Paru-Paru dan Ginjal

4 Maret 2010   22:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:36 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_86429" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi dari www.images.google.com.au"][/caption] Kurang ajar. Itu satu kata yang pasti kita berikan pada orang seperti itu. Kita pasti sepakat akan hal itu. Mungkin kita bertanya, apa ada orang kayak gitu? Perhatikan saja kisah berikut.

Adalah seorang kaya yang ingin mengembangkan usaha di bidang perkebunan. Ia telah berkonsultasi dengan ahli mengenai perkebunan yang akan ia buat, karena ia memang tidak memiliki dasar bertani atau berkebun.

Lokasi tempat ia mengembangkan usaha kebun ini jauh di luar kota. Biasanya ia ke sana kalau liburan untuk sekadar refresing. Kemudian ia berpikir dari pada hanya jalan-jalan khan lebih baik kalau ada yang dituju, maka mulailah ia memikirkan untuk memiliki kebun. Sedangkan pengelolaannya ia serahkan kepada penggarap di sana.

Telah beberapa tahun kebun itu berjalan, namun ia belum pernah mendapatkan hasilnya. Bahkan ia mesti menyuplai berbagai kebutuhan, untuk pupuk pergantian bibit, obat hama, dst. Tahun pertama penggarap itu mengatakan bahwa belum ada hasil karena tanamannya masih akan berbuah pada tahun ketiga. Ia sabar menunggu dan melihat memang tanaman itu belum ada buahnya.

Pada tahun ketiga ia berharap akan menikmati hasil kebunnya. Ia menghubungi penggarapnya dan mendapat jawaban yang mengecewakan. Katanya hasilnya buruk. Banyak angin dan kurang hujan yang membuat banyak buah gugur dan tidak menghasilkan, bahkan cenderung rugi. Ia percaya karena tidak bisa melihat keadaan kebun.

Setahun kemudian, ia menyempatkan melihat kebun itu. Buah-buah yang yang mulai membesar, sebagian sudah ranum. Hmmm pasti panen raya, pasti hasil melimpah. Menurut para penggarap, panen akan dilaksanakan 2 bulan ke depan.

Pada waktu yang ditentukan, ia mengirim staffnya dari kantor untuk mengambil hasil panen sesuai dengan kesepakatan awal. Tetapi, betapa kecewanya orang kaya tadi, ketika staffnya kembali tanpa hasil. Penggarap itu tidak mau memberikan hasil panen. Menurut mereka, hasil panen masih menjadi milik mereka, karena mereka yang mengerjakan, baru tahun depan bisa dibagi hasilnya.

Alasan yang tidak masuk akal dan dibuat-buat. Maka orang kaya tadi mengirim anaknya. Ia berpikir, kalau yang datang anaknya, tentu mereka akan segan. Eeee, ternyata keliru. Para penggarap itu memang kurang ajar. Si anak majikan bukannya dihormati dan diberi apa yang menjadi haknya, malah dipukuli. Sungguh kurang ajar.

Kisah selanjutnya bisa Anda tebak. Orang kaya hilang kesabarannya dan ia melaporkan kepada polisi dan para penggarap itu mendekam dalam penjara.

Kawan, menyebalkan sekali kalau kita bertemu dengan orang-orang macam begitu. Istilahnya sudah dikasih hati masih minta jantung. Bukan hanya itu masih nambah paru-paru dan ginjal. Sangat kurang ajar.

Membaca kisah ini, sejatinya saya sendiri seperti tersindir, bahkan bukan tersindir, tapi tertampar. Karena kerap saya berlaku seperti para penggarap itu. Tadi sayan mengatakan orang demikian itu kurang ajar, memang benar.

Saya memang tidak mengerjakan sesuatu milik orang lain, tetapi dalam kasus yang lain. Setiap ahri sudah mendapatkan fasilitas yang bagus dan enak, amsih saja ngedumel, menggerutu dan protes, apdahal kalau saya lihat-lihat, apa yang saya peroleh jauh lebih baik dari pada orang-orang yang sejawat dengan saya. Kuranga ajar benar ya ternyata saya. Hmmm, kerap kali nggak sadar (hehehehe membela diri). Sekarang saya bisa berpikir, kasihan sekali orang-orang di sekitar saya yang harus menghadapi saya yang nggak tahu diri.

Maka benar saja kalau mereka kerap mengatai saya, ‘kamu jangan ngelunjak ya. Udah dikasih masih nuntut terus. Tahu diri dikit napa!’

Kawan, doakan saya semoga, saya makin bisa tahu diri dan nggak kurang ajar lagi.

Salam

Melbourne, 05-03-10

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun