Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dunia Orang Sopan

3 Januari 2010   08:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:39 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Di sini kami langsung memanggil nama. Bahkan kepada atasan pun kami memanggil nama.” Kata seorang teman menceritakan kebiasaan menyapa di kota di mana sekarang saya tinggal. Rasanya saya kikuk menyapa orang yang jauh lebih tua dari saya hanya dengan namanya saja. Rasanya kok tidak sopan.

Saya tumbuh dan dibesarkan dalam adat di mana kita mesti menghormati orang lain. Maka ada banyak atribut dikenakan di depan nama seseorang untuk menghormatinya, Mas, Abang, Kakak, Adik, Koko, Meme, Cici, Ibu, Bapak, Tuan, dan masih banyak lagi.

Ajaran sopan santun yang begitu luhur diajarkan oleh orangtua, tentu tidak mudah untuk dilepaskan. Saya masih menyebut seseorang dengan embel-embel ibu atau bapak, meski mereka berulang kali meminta dipanggil dengan namanya saja.

“Di sini menyebut gelar tidak ada hubungannya dengan sopan santun!” Kata seorang teman ketika saya mengatakan bahwa langsung menyebut nama itu tidak sopan.

Kemudian teman saya menunjukkan arti sopan santun dengan melihat kenyataan di jalan raya.Orang mematuhi rambu-rambu di jalan, orang mau mengantri, yang lemah/sakit didahulukan, parker pada tempatnya, di daerah zebra cross, para pejalan kaki diberi kesempatan dan didahulukan, para pengemudi tidak ada yang membunyikan klakson agar orang-orang itu minggir. Tidak ada saling serobot, klakson bertubi-tubi, semuanya tenang, semua mau menunggu. Dan banyak prilaku lain yang sungguh mencerminkan orang yang sopan.

Meskipun mereka langsung memanggil nama, ternyata mereka sangat sopan, mereka tahu menghormati orang lain.

Kemudian saya terkenang dengan keadaan jalan raya di kampong halaman. Melanggar lampu merah adalah hal biasa, bahkan kalau berhenti di lampu merah akan diklakson dari belakang. Orang harus pandai-pandai menyerobot, bahkan kendaran yang hendak menurunkan penumpang pun tidak mau minggir terlebih dahulu. Di sana berlaku hokum yang kuat dan berani dialah yang menang.

Mengapa ajaran sopan santun untuk menghormati orang lain hilang ketika berada di jalan? Namun saya masih kerap mendengar, “kita ini orang timur berbudi luhur, yang tahu menghormati orang lain!” Melihat tata hidup orang barat yang sungguh bisa menghormati orang lain saya sungguh malu untuk mengatakan ‘aku berasal dari dunia orang sopan’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun