"Tidak ada yang istimewa, biasa-biasa saja. Saya tidak pernah merayakannya secara khusus," jawab Marisa Haque ketika ditanya pendapatnya soal tahun baru. Sebagai Redaktur Pelaksana sebuah majalah sekian tahun lalu, saya pernah menugaskan seorang reporter membuat feature tentang tahun baru di kalangan selebriti. Ketika bertemu Novia Kolopaking, jawabnya pun tak kalah menarik. "Tahun baru yang mana?" Ia malah balik bertanya, "saya tidak merayakannya," imbuhnya.
Mendengar laporan si reporter saya juga jadi bertanya, mengapa harus merayakan tahun baru? Apanya yang dirayakan? Boleh jadi orang merayakan kesuksesan-kesuksesan di tahun yang lampau. Juga, sekaligus bergairah melihat harapan cerah di depan. Tetapi, bagaimana dengan kegagalan di masa lalu? Atau, bagaimana bila orang tidak melihat harapan cerah di depan? Mungkin, di awal tahun baru justru kecemasan yang lebih terasa bagi mereka.
Tahun 2018 konon bakal menjadi tahun politik, yang membawa harapan dan kecemasan. Akankah perubahan peta politik bakal membawa harapan? Atau, kegaduhannya saja sudah bakal menimbulkan kecemasan? Orang bisa saja merasa cemas dan itu tidak harus berkait dengan tahun baru, tahun politik, atau tahun apa pun. Tetapi, mengapa setiap tahun baru orang sibuk membuat ramalan yang buntutnya juga potensial melahirkan kecemasan? Barangkali tahun baru identik dengan perubahan. Dan, perubahan bisa membawa keterasingan dan kegagalan. Karenanya, perubahan menuntut kita membuat lagi penyesuaian dengan situasi yang baru. Tidak semua orang siap menghadapi perubahan. Orang-orang dari kelompok inilah yang biasanya rentan dihinggapi rasa cemas.
Agak aneh memang, bahwa orang tidak siap menghadapi perubahan. Bukankah tidak ada sesuatu yang tinggal tetap secara mantap di dunia ini? Pasti akan sia-sia orang yang mati-matian mempertahankan status yang tetap, karena segala sesuatu terus berubah. Seperti kata Diogenes yang melukiskan pandangan Herakleitos dengan perkataan mashur panta rhei kai houden menei. "Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal mantap". Herakleitos sendiri pernah berkata, "Engkau tidak bisa turun dua kali ke dalam sungai yang sama." Tentu saja, karena air tempatnya turun pertama telah berlalu dan kini mengalir air baru yang berikutnya.
Pertanyaannya lalu ke mana arah perubahan itu? Nada pesimis tulisan seorang Yahudi dari Palestina abad ke-3 SM, sangat terasa. "Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh. Ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu. Segala sesuatu menjemukan.... Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi. Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari."
Kalau begitu, adakah arah perubahan itu hanya melingkar-lingkar untuk akhirnya kembali lagi? Yang seperti itu pernah dikatakan oleh Porphyrus dalam Kehidupan Pythagoras, "Menurut siklus-siklus periodik, maka apa yang terjadi akan terjadi lagi pada suatu hari. Sebab tidak ada hal yang sama sekali baru." Juga seorang eksistensialis ateis seperti Nietzsche, lebih suka menggambarkan arah perubahan itu dalam konsepsi dunia yang bersifat siklis, sebagaimana jelas dalam Also Sprach Zaratusthra, "Segala sesuatu pergi, segala sesuatu datang kembali; berputarlah roda hakikat itu secara abadi...."
Lalu, tiadakah finalitas arah perubahan? Lepas dari keberpihakan pendapat filosofis itu, secara faktual perubahan dialami oleh setiap orang. Orang tidak harus tahu banyak konsep filosofis tentang perubahan untuk mengalaminya. Ia sendiri berubah dan sekaligus hanyut di dalam perubahan kosmos yang belum tentu disadarinya. Seperti kata Prof. James Jeans, alam semesta ini sedang berubah "seakan jam yang berjalan makin kendur". Matahari membakar habis 250 juta ton materinya tiap menit, dan kita tidak tahu akan berapa lama proses itu berlangsung. Sementara itu, thorium berdesintegrasi menjadi radium, yang akhirnya berubah menjadi plumbum atau timah hitam. Juga, bintang-bintang terpecah-pecah menjadi nebula dalam beberapa jam saja, bukan jutaan tahun seperti pernah diduga dahulu.
Akankah kecemasan bertambah karena itu? Menyirnakan kecemasan menghadapi perubahan, mungkin lebih penting diupayakan. Perubahan adalah dinamika. Dinamika, dari kata Yunani, berarti kemampuan, kekuatan, atau daya gerak. Semakin memiliki daya gerak, seseorang semakin dinamis. Kalau demikian, manusia adalah bagian dan agen perubahan itu sendiri.Â
Dan, ia memiliki kemampuan untuk memberi arah perubahannya. Perjuangannya tentu soal memampukan diri mengarahkan perubahan itu sesuai harapannya. Barangkali, karena itulah banyak orang tidak melihat pentingnya merayakan tahun baru. Mungkin, seperti narasumber di atas, mereka sudah jemu dan tergelitik mencari makna yang lebih mendalam. Selamat tahun baru, selamat berubah! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H