Di kehidupan ini, jika ada satu yang paling setia dan tak pernah ingkar janji, boleh jadi itu matahari. Bagaimana tidak, ia selalu terbit di pagi hari sebagai mentari, mengambil mula yang selalu sama di ujung timur. Lalu ketika sudah tua ia akan berpamitan sebagai senja, selalu sama di ujung barat.
Bagaimana dengan bulan di malam hari atau bintang yang menemani ?. Keduanya memang cantik, tapi sayang mereka kadang angkuh. Bintang misalnya, sinarnya terang tapi di kejauhan. Ia juga sering tak datang ketika dinanti banyak orang. Bulanpun demikian. Hanya matahari yang selalu memberikan janji pasti akan sebuah harapan dan keindahan, tak peduli kondisinya.
Banyak yang berkata jika ingin memiliki keindahan matahari terbit, pergilah ke pucuk bukit atau gunung. Tunggui sampai ia muncul. Lalu saat ingin menikmati keindahan senjanya, berlarilah ke pantai. Masalahnya ada orang yang tidak menyukai pantai, saya. Sementara setiap kali menjelajah bukit atau pegunungan lebih banyak waktu dihabiskan di dalam rimbunan pohon bersama Anggrek, hampir tidak pernah menyempatkan diri pergi ke puncaknya, duduk lalu menunggu mentari.
Tapi matahari selalu memberikan janji pasti untuk sebuah keindahan, di manapun tempatnya, beragam cara dan bentuknya. Saat meninggalkan kota menuju desa, ini adalah tempat yang baik untuk menikmati matahari muda dan tua. Melihat mentari datang dan naik perlahan di atas sawah berair dan membiarkan bayangannya jatuh adalah sebuah keberuntungan, tak ada pemandangan seperti ini di pantai bukan ?.
Selamat Pagi.
Lalu saat matahari menua, pemandangan senjanya juga tak kalah. Kadang malah terasa lebih indah saat dipandang setengah dari balik pohon. Mengintipnya dari balik tirai jendela juga kadang luar biasa. Semuanya seperti lukisan saja, tapi ini bukan lukisan, ini ciptaan Tuhan.
"biarkanlah kurasakan hangatnya sentuhan kasihmu..."
dari balik jendela
Saat pulang di ambang petang, kaki ini juga suka tergoda untuk berhenti di tepi jalan, bersandar pada jembatan menyaksikan indahnya warna kuning yang mulai memerah di atas langit dengan alas gedung-gedung yang mulai terlihat menghitam karena lampunya belum menyala.
Gedung MM Universitas Gadjah Mada
senja di bulan puasa
Tapi senja tak selalu berhiaskan warna kuning tua atau merah menyala. Saat tenggelam matahari pun berbaik hati menghiasi langit dengan warna lain yang tak terduga. Seperti mau gelap tapi setengah-setengah. Seperti ingin malam tapi belum rela melepaskan siang. Senja pun jadi berwarna biru. Ini warna favoritku.
Siang mengantar petang
Hanya matahari yang selalu memberikan janji pasti untuk sebuah keindahan dan harapan, apapun kondisinya. Tak hanya di pucuk bukit, bukan hanya di langit pantai, di atas sawah atau di langit kota. Tuhan juga Maha Baik memberikan harapan kepada tempat yang tanahnya telah rata diterjang lahar Merapi.
Penambang pasir Merapi
Desa ini mungkin memang sudah mati karena lahar Merapi, tapi langitnya jelas tak menggambarkan sebuah kematian, yang ada justru keindahan dan harapan.
Mentari dan senja, dua janji keindahan matahari yang selalu pasti. Dan keindahan lainnya itu ada di sini, WPC 32
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H