Perayaan Sekaten Yogyakarta yang digelar sejak November 2014 lalu segera memasuki puncaknya pada 3 Januari 2015 dan sejak seminggu lalu daya tarik Sekaten pun mulai beralih dari Pasar Malam di Alun-alun utara ke halaman Masjid Gedhe Kauman.
[caption id="attachment_344493" align="aligncenter" width="594" caption="Suasana di dalam Pagongan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta ketika Gamelan Pusaka ditabuh menandai dimulainya rangkaian inti Perayaan Sekaten (1/1/2015)."][/caption]
Kontras dengan sajian hiburan dan belanja yang diumbar di Pasar Malam, di halaman Masjid Gedhe Kauman ada sejumlah tradisi Sekaten yang bisa disimak dan diresapi maknanya. Begitu melewati gerbang masuk, pengunjung segera bisa mendengarkan suara-suara gending yang dimainkan dari dua perangkat gamelan pusaka milik Kraton Yogyakarta. Kedua gamelan tersebut adalah Gamelan Kyai Nagawilaga dan Gamelan Kyai Guntur Madu. Selama seminggu, gamelan-gamelan tersebut ditabuh secara bergantian di dalam Pagongan Masjid Gedhe Kauman dari pukul 08.00 hingga 23.00. Gamelan hanya berhenti ditabuh pada waktu sholat tiba.
Gamelan Sekaten berfungsi simbolik bagi ulama, masyarakat dan raja. Bagi ulama di masa lampau gamelan merupakan sarana penyebaran agama. Oleh karena itu pula gendhing yang dimainkan menyiratkan makna tentang ajaran Ketuhanan. Alunan gendhingnya cenderung lembut dengan tempo yang pelan di awal lalu perlahan meninggi di bagian akhir. Hal itu bermakna puji-pujian kepada Allah. Gendhing Salatun misalnya, mengandung ajaran tentang sholat. Gending-gending yang dimainkan adalah karya para Wali Songo. Sementara itu bagi raja, Gamelan Sekaten adalah simbol kekuasaan. Oleh karena itu Gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu termasuk bagian dari benda pusaka Kraton. Kedua gamelan itu memiliki kembaran yang tersimpan di Kraton Surakarta.
[caption id="attachment_344480" align="aligncenter" width="594" caption="Para abdi dalem sedang memainkan gending dari seperangkat gamelan pusaka Kyai Guntur Madu. Selama sepakan terakhir gamelan pusaka ditabuh di Pagongan Masjid Gedhe Kauman."]
[caption id="attachment_344481" align="aligncenter" width="594" caption="Masyarakat sedang menyaksikan Gamelan Pusaka ditabuh di Pagongan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta."]
Selain Gamelan pusaka, inti perayaan Sekaten juga ditandai dengan munculnya puluhan pedagang berusia lanjut yang menjual “Endhog abang” dan “Kinang”. Mereka tersebar di berbagai sudut di sekitar Pagongan tempat gamelan dimainkan.
[caption id="attachment_344482" align="aligncenter" width="594" caption="Seorang simbah penjual Endhog Abang di halaman Masjid Gedhe Kauman sedang melayani pembelinya yang juga berusia manula."]
[caption id="attachment_344483" align="aligncenter" width="594" caption="Menjual Endhog Abang merupakan salah satu tradisi di Sekaten Yogyakarta yang sudah berlangsung sangat lama."]
Endhog abang yang berarti “telur merah” adalah telur rebus yang kulitnya diberi perwarna merah. Tradisi membuat endhog abang sudah berlangsung sejak Sekaten pertama kali diadakan bahkan konon sudah ada semenjak Kraton Yogyakarta berdiri. Pada perkembangannya Endhog abang menjadi bagian tradisi di lingkungan Kraton Yogyakarta.
Endhog abang dibuat dengan ditusuk menggunakan sebilah lidi atau bambu berukuran kecil lalu diberi hiasan dari kertas seadanya. Hiasan ini dahulu dibuat untuk menarik minat anak-anak. Endhog abang adalah simbol kemanunggalan manusia dengan penciptanya. Endhog abang adalah gambaran sosok manusia dalam hal ini bayi merah yang baru lahir. Agar kuat dan mampu menjalani kehidupannya dengan lurus manusia perlu disokong oleh keyakinan yang kuat yakni agama. Sokongan ilmu agama itulah yang kemudian dilambangkan dengan tusukan lidi atau bambu.
[caption id="attachment_344484" align="aligncenter" width="360" caption="Simbah penjual Kinang."]
[caption id="attachment_344485" align="aligncenter" width="338" caption="Membeli Kinang baik untuk dimakan maupun hanya sebagai oleh-oleh telah menjadi kebiasaan bagi sebagian orang yang berkunjung ke Masjid Gedhe Kauman selama Sekaten digelar."]