[caption caption="Foto salah satu pelaku teror ketika sedang beraksi melancarkan serangan di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta pada Kamis, 14 Januari 2016. Foto ini dirilis oleh agensi berita China Xinhua (dimuat di kompas.com)."][/caption]Ada tiga hal penting yang patut diperhatikan dari aksi teror di kawasan Sarinah pada Kamis, 14 Januari 2016 yang lalu. Tiga hal ini bisa jadi akan dimanfaatkan dan dieksploitasi oleh para teroris untuk melancarkan aksi-aksi berikutnya. Kita wajib waspada saat banyak pihak memberi cap “gagal” kepada aksi teror tersebut, sementara para teroris justru diuntungkan dengan "kegagalan" itu.
1. Keberanian atau Ketidakdewasaan?
“Hanya di Indonesia serangan teror jadi tontonan warga, fix ISIS gagal!”. Begitulah garis besar perbincangan yang masif terjadi sesaat setelah serangan teror di kawasan Sarinah terjadi. Dari beberapa rekaman video dan foto yang beredar memang terlihat masyarakat berkerumun menonton aksi teror bahkan mengelilingi sang teroris yang sedang mengacungkan pistol.
Kejadian tontonan itu lalu dikabarkan sebagai bentuk keberanian masyarakat menghadapi teror. Namun, saya termasuk salah satu orang yang tak habis pikir dan justru sangat takut dengan perilaku “masyarakat menonton”. Di balik sikap berani masyarakat yang menonton serangan teror dari jarak dekat, ada ketidakdewasaan dalam memandang sebuah ancaman. Aksi menonton bersama serangan teror yang terjadi saat itu lebih mengarah kepada sikap ceroboh dan ketidakwaspadaan.
Tidakkah disadari bahwa “keberanian” nonton bareng serangan teror ini menjadi informasi yang berharga bagi teroris. Fenomena serangan Sarinah telah memberi keuntungan kepada para teroris. Mereka mungkin akan memanfaatkan perilaku “masyarakat menonton” untuk merancang strategi baru.
Teroris bukan orang bodoh meski perbuatan mereka seperti makhluk tanpa pikiran. Tidak terbayangkan jika pada aksi berikutnya teroris akan memulai dengan serangan “amatir” seperti kemarin dengan maksud mengundang “penonton”. Di saat kerumunan terjadi, aksi teror yang lebih besar dilancarkan. Dari tengah kerumunan teroris lain menyusup dengan menyiapkan bom atau serangan yang lebih masif. Jika ini terjadi apa reaksi kita?. Apakah akan kembali menyalahkan aparat dengan alasan “kebobolan” dan tidak sigap melakukan evakuasi?. Semoga ini tidak terjadi. Teror bukan untuk ditonton.
2. Eksploitasi Tanda Pagar
Mengabarkan kepada masyarakat bahwa #JakartaAman atau #JakartaBaikBaikSaja memang diperlukan untuk mencegah kepanikan. Menyebarkan pesan bahwa #KamiTidakTakut atau #IndonesiaBerani dibutuhkan untuk memberikan optimisme serta keyakinan pada masyarakat maupun dunia bahwa Indonesia tetaplah negara yang tangguh.
Akan tetapi, teroris selalu bisa menemukan celah karena mereka bukan orang bodoh. Teroris akan menganalisis dan menemukan bahwa ada kelemahan nyata yang bisa dieksploitasi dari tanda-tanda pagar di atas.
Sedikit mundur ke belakang. Selama ini setiap kali pasca serangan teror sering terkuak indikasi ketidakwaspadaan masyarakat kita. Berita tentang pemilik rumah yang sudah menaruh curiga terhadap aktivitas sang penyewa rumah, namun tidak melapor kepada aparat. Penuturan tetangga atau ketua RT yang kurang nyaman dengan kegiatan sekelompok orang di wilayah tinggal mereka, namun tidak memberikan teguran. Semua itu menunjukkan bahwa dalam sistem sosial masyarakat kita, antara sikap berani dan kurang waspada ternyata masih abu-abu.
Oleh karena itu di balik cap “gagal” yang mereka terima, teroris justru mendapatkan informasi yang sangat besar tentang karakter sebagian masyarakat Indonesia. Kelemahan sistem sosial yang ada akan menjadi inspirasi bagi para teroris untuk mengesploitasi slogan-slogan #KamiTidakTakut, #IndonesiaBerani dan sebagainya.
Para teroris itu mungkin sangat senang saat banyak media dan masyarakat lebih memilih memperbincangkan harga sepatu serta merk tas yang digunakan oleh polisi ganteng, daripada tentang upaya meningkatkan kewaspadaan dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Mereka juga tidak terganggu dianggap amatir atau tidak mahir. Semakin dianggap remeh semakin leluasa mereka bergerilya menebar teror berikutnya.
Teroris tidak gentar dengan tagar-tagar di media sosial. Sebaliknya, mereka akan membiarkan kita semakin larut dalam perasaan hebat seolah-olah tidak bisa terancam oleh teror apapun. Jika hal itu berhasil dilakukan dan kita besar kepala dalam “keberanian” yang tidak disertai “kewaspadaan”, maka yang terjadi selanjutnya adalah kemenangan teroris. Semoga itu tidak terjadi.