[caption caption="Transaksi jual beli ikan segar langsung dari nelayan di Teluk Buyat, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara pada Sabtu, 2 April 2016. Dok.pri"][/caption]Seekor ular berwarna hitam menggelepar cepat di depan saya. Jaraknya dari jempol kaki hanya 30 cm. Kemunculannya secara tiba-tiba membuat saya spontan mundur dan menahan langkah. Agak gentar melihat ukuran tubuh ulat itu. Tak tahu jenis apa, tapi diameter tubuhnya 2-3 cm. Sebuah sambutan yang cukup mengejutkan di Teluk Buyat, pada Sabtu pagi (2/4/2016) lalu.
Namun, hal itu tak membuat saya berbalik badan. Setelah memastikan hewan melata bersisik itu pergi dan menghilang di antara semak, saya kembali berjalan. Ada pertanyaan dan rasa penasaran yang ingin saya temukan jawabannya di tempat ini. Rasa ingin tahu tentang kabar yang dulu membuat gempar.
Teluk Buyat di Ratatotok memang pernah membuat gempar pada 2004 silam. Isu pencemaran yang disebabkan oleh tailing atau limbah pertambangan PT. Newmont Minahasa Raya (PTNMR) mengagetkan negeri ini. Tak hanya menjadi perhatian Indonesia, isu Buyat juga menyebar ke luar negeri dan dibandingkan dengan tragedi Minamata.
[caption caption="Kondisi perkampungan di tepi pantai Teluk Buyat saat ini. Dok.pri"]
Kehidupan yang semula tenang mendadak terusik. Hubungan antar warga yang sebelumnya bersatu menjadi terkoyak. Ada sebagian warga yang tidak percaya dengan isu pencemaran karena tidak merasakan dampak negatif. Sementara sejumlah warga yang lain keras menyuarakan adanya pencemaran. Mereka yang berjumlah sekitar 70 kepala keluarga kemudian meninggalkan Teluk Buyat sebagai bentuk protes menghindari pencemaran. Tempat itu digambarkan seolah-seolah tak layak lagi ditinggali.
Belakangan diketahui kepindahan sebagian warga itu difasilitasi oleh LSM yang memberikan janji-janji tertentu. Hal ini diakui oleh Salamun dan Abidin, dua tokoh agama di Ratatotok Timur yang saya temui usai sholat berjamaah di Masjid An-Namira sehari sebelumnya (1/4/2016). “Kami saat itu pecah. Banyak yang pindah karena dijanjikan uang, sembako, dan rumah oleh LSM”, kata Salamun. Tak hanya itu, sebagian warga juga sempat dikumpulkan untuk mendapat pelatihan penolakan tambang.
Tentang seorang warga yang dikabarkan lumpuh, keduanya menegaskan bahwa berita itu adalah bohong. Selain tidak ada warga yang lumpuh, kematian bayi bernama Andini juga dinilai tidak ada hubungannya dengan isu pencemaran. Meskipun demikian, ada komunikasi yang kurang tepat antara PTNMR dan warga pada saat itu. Penjelasan yang diterima warga tentang operasi pertambangan dianggap terlalu teknis dan rumit. “Warga di sini mana tahu arti tailing dan pemantauan”, kata Abidin.
Warga yang bertahan di Teluk Buyat beraktivitas seperti biasa. “Kami yang nelayan tetap melaut dan makan ikan. Nggak ada apa-apa”, tegas Salamun lagi. Oleh karena itu merasa ia heran dan tertawa saat melihat reaksi para wartawan serta beberapa orang yang datang ke Buyat enggan memakan ikan yang disajikan karena takut keracunan.
[caption caption="Pemandangan yang cantik di Teluk Buyat. Dok.pri"]
Menurut PII kualitas air laut di Teluk Buyat masih memenuhi baku mutu bagi organisme laut. Tidak terjadi pembauran tailing PTNMR dengan perairan di Teluk Buyat. Pemantauan PII selama 10 tahun menunjukkan ikan dari Teluk Buyat aman dikonsumsi. Rekomendasi PII tersebut telah disampaikan dan diterima oleh Kementerian Riset, Teknologi & Perguruan Tinggi pada 3 Februari 2016.
[caption caption="Nelayan menunjukkan cumi-cumi dan ikan hasil tangkapan di Teluk Buyat. Dok.pri"]