Bagi beberapa orang terutama warga kota besar masuk ke dalam diskotik atau klub malam mungkin hal yang biasa. Diskotik memang telah menjadi “tempat rekreasi” bagi pengunjung setianya. Diskotik adalah tempat gaulnya “aktivis” gaya hidup metropolis.
Sementara bagi banyak orang lainnya diskotik adalah tempat yang tabu untuk dikunjungi. Dengan berbagai alasan, termasuk citranya yang lekat dengan kehidupan malam yang bebas, minuman keras hingga narkoba, diskotik menjadi tempat yang “terlarang” bagi banyak orang. Sayapun demikian, masuk ke dalam diskotik tidak akan pernah saya lakukan. Tak ada kebutuhan hidup yang saya perlukan dari tempat tersebut.
Suasana di sebuah diskotik di kota Malang. Di sinilah akhirnya untuk pertama kali saya menginjak lantai diskotik dan menyaksikan betapa kehidupan malam yang "ajeb-ajeb" di dalamnya sama dengan yang selama ini ditampilkan dalam film dan TV.
Tapi keteguhan itu sejenak koyak. Akhirnya saya merasakan juga gelap dan riuhnya diskotik dengan segala hal yang ternyata benar adanya, sama dengan gambaran “ajeb-ajeb” yang sebelumnya hanya saya saksikan di TV. Di suatu malam di kota Malang, untuk pertama kalinya saya menginjak lantai diskotik, menyaksikan hiburan di panggung utama dan baru meninggalkannya saat hari telah berganti.
Selasa malam, 6 Desember 2011, saya tiba di Kota Malang. Baru setengah jam masuk kamar hotel, seorang teman sudah menjemput saya di lobi. Kami pun bergegas meninggalkan hotel menuju sebuah tempat yang pada akhirnya nanti membawa pengalaman yang mengejutkan bagi saya.
Setelah mengisi perut di sebuah kedai bakso di Jl. Kawi Malang, kami berdua meluncur ke sebuah hotel berbintang tak jauh dari pusat kota. Tiba di hotel kami langsung menuju lobi, di sana sejumlah orang sudah menanti. Kami memang sudah membuat janji.
Di lobi saya bersama 5 orang wanita dan seorang pria duduk menghadap restoran. Di sana idola kami sedang makan malam. Tak berapa lama mereka selesai, sebagian naik meninggalkan tempat makan tapi ada juga yang turun menghampiri kami. Malam itu di lobi hotel kami berbincang dengan Carlo Saba dan kang Budi, keduanya personel KAHITNA. Turut serta juga manajer KAHITNA. Selama setengah jam kami berbincang, suasana akrab terjalin hingga mereka berpamitan untuk bersiap-siap.
Berbincang dengan drumer dan manajer KAHITNA di lobi hotel.
Lalu kapan ke diskotiknya?. Ya setelah dari hotel tersebut.
KAHITNA lah yang membuat saya beserta para mba dan mas karena akhirnya masuk ke dalam diskotik, sebuah tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya akan kami masuki. Malam itu KAHITNA tampil di Malang dan sebuah diskotik menjadi tempat show mereka.
Pukul 23.00 saya beserta para mba dan mas menuju diskotik di dekat hotel tempat KAHITNA menginap. Baru tiba di lobi diskotik saya tercengang dengan suasananya yang ramai dan temaram. Hilir mudik orang dengan pakaian yang bermacam-macam gaya, mulai dari yang biasa hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jeans panjang hingga rok mini, semua melintas di depan mata. Aroma parfum dan rokok menyengat memenuhi ruang nafas. Sementara hentakan musik dari dalam diskotik sudah terdengar keras.
Kami menuju meja tiket, membeli karcis masuk diskotik yang juga menjadi tiket pertunjukkan KAHITNA. Di sana seorang petugas wanita menawarkan komplemen tiket, apakah rokok atau soft drink. Saya baru tahu ternyata beginilah akses masuk ke dalam diskotik, sekian ratus ribu termasuk rokok dan minuman. Karena tidak merokok sayapun memilih soft drink.
Setelah tiket didapat kami tak langsung masuk ke ruang utama diskotik. Untuk beberapa saat kami saling bertukar rasa kaget melihat geliat kehidupan malam yang belum pernah kami rasakan. Setiap ada laki-laki atau wanita berpakaian mencolok melintas kami bertukar pandang sambil tersenyum heran. Ini gila!. Begitulah pikir kami dan yang saya rasakan mengenai suasanya lobi diskotik malam itu.
Jelang pukul 24.00 kami masuk ke dalam diskotik. Di muka tangga yang menjadi akses masuk petugas kemananan memeriksa tiket dan merazia kamera. Ada banyak petugas keamanan berbadan tegap yang menjaga diskotik. Saya baru tahu jika yang namanya diskotik alergi dengan kamera. Tapi dengan trik berjalan beriringan dengan seorang kru KAHITNA, akhirnya saya berhasil meloloskan tas berisi kamera ke dalam diskotik.
Tiba di dalam diskotik saya dibuat berkali-kali lipat tercengang dengan suasana di dalamnya. “Oh Tuhan, ternyata benar yang selama ini disajikan di film-film itu. Diskotik memang begini”. Ungkap hati saya waktu itu.
Ruangannya tak terlalu luas, tapi ada beberapa sofa tersedia di pinggir sementara sejumlah kursi berada di depannya menghadap panggung kecil. Tak ada lampu terang di dalamnya, hanya sorot lampu aneka warna yang menembak ke sana kemari. Sebuah lampu disko tampak berputar di tengah ruang. Musik yang diputar sangat “ajeb-ajeb”. Hentakannya sangat keras hingga kami tak bisa saling dengar. Berteriak pun nyaris percuma.
Malam makin larut. Suasana diskotik sempurna seperti apa yang saya lihat di TV. Beberapa orang mulai turun dari duduknya, mereka melantai menari saling berhadapan antara yang laki-laki dan wanita. Untuk beberapa saat mereka saling berangkulan dan ketika musik mengeras gerakan merekapun semakin menghayati. Sepasang manusia yang sedang asyik menari saya kenali wajahnya, sebelumnya mereka juga terlihat di hotel KAHITNA menginap.
Satu persatu orang menyusul ikut menari sambil membawa gelas berisi minuman, entah jenis apa. Semua pemandangan hanya berjarak 3-4 meter nyata di depan mata saya. Rasa tak nyaman membuat kami bergerak mencari tempat berdiri yang lebih dekat dengan panggung KAHITNA. Tapi usaha itu sia-sia karena diskotik semakin dipadati manusia-manusia malam. Sempat mendapatkan sofa kosong, kami lalu ditegur pelayan untuk pindah. Ternyata untuk duduk di sofa harus memesan lebih dulu dan membayar sekian ratus ribu di depan. Demikan halnya dengan kursi-kursi lainnya yang harus dipesan.
KAHITNA belum juga muncul sementara kami semakin banyak disuguhi pemandangan yang serba “wow”. Beberapa kali saya melempar pandang ke arah sofa, di sana penuh dengan muda-mudi. Tampak mereka sedang terbahak-bahak entah apa yang ditertawakan. Para pelayan hilir mudik membawa nampan berisi gelas-gelas kecil dan botol-botol minuman berukuran besar. Sementara bau minuman, asap rokok, dan parfum segala rupa telah bercampur membentuk atmosfer diskotik. Bau yang asing dan mengejutkan bagi saya.
Lewat pukul 00.00 akhirnya idola kami muncul. Spontan para pengunjung diskotik “terbangun”. Mereka yang sedang asyik berjoged menyudahi aksinya. Dalam sekejap semua menghampur ke muka panggung utama di mana KAHITNA telah bersiap. Show pun dimulai.
Sepanjang KAHITNA bernyanyi saya menyimpan tawa dalam hati. Merasa aneh bahwa di tempat “segarang” ini yang terdengar justru lagu-lagu mellow semacam Aku Dirimu Dirinya dan Tak Sebebas Merpati. KAHITNA pun membuat tempat ini laksana “diskotik baik-baik”.
Namun demikian tak semua pengunjung diskotik larut dalam cerita cinta KAHITNA. Sejumlah orang di belakang dan yang duduk di sofa tetap asyik dengan kehidupan malamnya sendiri. Gelas-gelas minuman dan gelak tawa menemani mereka. Mungkin mereka inilah yang dinamakan aktivis kehidupan malam sejati.
Belasan lagu KAHITNA bawakan non stop. Sepanjang itu pula para pengunjung yang terkesan dengan penampilan Yovie Widianto dkk. tak henti berteriak. Dalam gelap lewat sorot lampu diskotik yang menyorot secara acak, terlihat sosok wanita berparas manis. Jilbab yang menutupinya membuatnya berbeda, anggun dan tentu saja kontras dengan suasana diskotik. Gerak bibirnya sesekali ikut menirukan nyanyian KAHITNA. Sayapun bergeser dan akhirnya bisa lebih jelas melihat wajahnya, seperti lagu KAHITNA, Cantik.
KAHITNA terus bernyanyi, sayapun menikmati. Sama sekali tak bosan meski tak lama sebelumnya saya baru saja menyaksikan mereka di Konser 25 Tahun Cerita Cinta yang digelar di Jakarta Convention Center. Tapi kali ini rasanya beda dan itu karena mereka membuat saya untuk pertama kalinya masuk ke dalam diskotik dan menyaksikan langsung sisi lain dari kehidupan malam yang sering dianggap undercover dan tabu. Dan yang mengesankan lainnya adalah sosok wanita berjilbab di tengah riuh dan gelapnya diskotik malam itu.
Sekitar pukul 01.15 show KAHITNA berakhir. Kami pun bergegas meninggalkan diskotik. Bukan karena diskotik sudah mau berakhir, justru dini hari konon menjadi awal kehidupan malam diskotik. Kami buru-buru keluar karena sudah ingin segera kembali menjadi “manusia baik-baik”.
Yovie Widianto ramah berbincang dan berfoto bersama penggemar KAHITNA seusai show di diskotik malam itu.
Meninggalkan diskotik kami kembali menuju hotel KAHITNA menginap. Teman-teman saya sangat bersemangat berfoto dengan KAHITNA. Beruntung KAHITNA selalu ramah dengan penggemarnya. Yovie Widianto bahkan tak segan meluangkan waktu berbincang dengan pengagumnya. Sementara saya yang sudah merasakan badan pegal dan kaki yang ingin dilepas sejenak memilih mengambil posisi di sebuah kursi dekat lobi.
Sepulang dari diskotik kami duduk menunggu KAHITNA di hotel tempat mereka menginap.
Akhirnya kami duduk di lobi sambil “meringkas” kekagetan masing-masing terhadap kehidupan malam di dalam diskotik. Semua dari kami memiliki kesan yang tak jauh beda. Masuk diskotik dan menjadi bagian dari kehidupan malam yang serba aneh menjadi pengalaman yang pertama bagi kami dan semoga menjadi yang terakhir.
Musik keras dalam ruangan yang gelap dipenuhi aroma parfum, minuman dan rokok. Orang-orang, banyak di antaranya sepasang manusia, asyik berjoged mengikuti dentuman musik keras. Tawa mereka yang bercampur dengan kerasnya alunan musik membuat telinga pusing. Dan dalam sorot lampu disko yang temaram pakaian mereka yang tak biasa sempurna menghidupkan suasana “ajeb-ajeb”. Tempat seperti ini ternyata benar-benar nyata, tak hanya ada di layar kaca.
Tentang wanita berjilbab yang ikut larut dalam pertunjukkan, saya tak sempat berkenalan. Saat saya menceritakan sosoknya kepada teman-teman, mereka tertawa. Yang jelas wanita itu bukan satu-satunya yang berjilbab di dalam diskotik. Malam itu 4 dari 5 mba yang bersama saya menonton KAHITNA di diskotik semuanya juga berjilbab.
Jelang pukul 2 dini hari kami berpisah. Saya kembali ke hotel tempat saya menginap. Sementara mba dan mas pulang ke rumah mereka. Malam itu kami baru saja menjadi manusia-manusia malam, menginjak lantai diskotik, sebuah tempat yang bukan kami banget, tapi KAHITNA tetap gue banget.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI