Sepeda kumbang warna hitam, celana jeans, kumis tebal. Tiap hari berkeliling melewati jalanan Jogja, memasuki banyak pemukiman di antara kehidupan modern kota yang mungkin sebenarnya tak lagi melirik dirinya. Namun ia terus kayuh sepeda kumbangnya, mengantarkannya pada orang-orang yang merindukan selera asal dan kenikmatan dalam kesederhanaan.
Lama tinggal di Jogja membuat saya merindukan banyak hal dari kampung halaman. Sebagai anak desa yang hijrah belajar di kota besar saya selalu rindu untuk mengulang atau sekedar mengingat masa-masa lampau yang terlalui. Berjalan-jalan di sawah, sembunyi-sembunyi membuang makanan yang tak habis dimakan, ikut ibu ke pasar, berkelahi sepulang sekolah, kabur diam-diam dari rumah untuk bermain hingga menikmati jajanan masa kecil. Salah satunya adalah makanan tradisional yakni kue putu.
Dulu saya sangat suka meminta jajan kue putu. Pasti banyak yang tahu seperti apa kue putu itu. Kue tradisional terbuat dari beras dengan isian gula merah yang dibuat dengan cara dipanaskan menggunakan uap panas, disajikan dengan parutan kelapa dan kadang ditaburi gula pasir. Dulu saya suka menanti pedagang kue putu lewat di depan rumah, biasanya sore hari sampai jelang senja. Ia datang dengan pikulan di pundak, pasti berat. Mendengar bunyi tiupan uap panasnya dari jauh saya langsung berlari keluar rumah.
Namun itu dulu, mungkin sudah lebih dari 10 tahun yang lalu dan semenjak itu saya tak lagi bisa menikmati kue putu. Dan semenjak saat itu pula saya selalu rindu untuk bisa menikmati kue itu lagi sebagai bagian dari rindu saya pada keceriaan masa kecil.
Kini setiap pulang ke rumah saya tak pernah menjumpai lagi pedagang putu lewat depan rumah. Mencarinya di pasar pun susah. Sementara di Jogja saya tak pernah tahu apa di daerah sekitar rumah kos saya ada penjaja kue tradisional. Memang ada beberapa penjual jajanan pasar yang membuka kios dan lapak di sini, namun rasanya beda, sebagian sudah dikemas secara modern dan harganya jadi mahal.
Namanya Pak Harjanto. Perkenalan singkat saya dengannya terjadi secara tak sengaja. Namun akhirnya tangannya lah yang mengobati kerinduan itu. Siang akhir pekan kemarin ketika hendak keluar saya dikejutkan dengan suara yang sama dengan yang sering saya dengar semasa kecil. Awalnya terdengar samar-samar karena masih di kejauhan. Namun ketika sedang menyiapkan kendaraan suaranya perlahan mengeras pertanda mendekat. Tak lama kemudian seorang pria berkumis menaiki sepeda kumbang warna hitam muncul dari tikungan gang. Mau beberapa meter, ia lalu berhenti tak jauh dari rumah kos saya. Beberapa anak kecil datang mengerumuni.
Pria berkumis itu berjualan kue putu. Kue masa kecil yang sudah lama ingin saya nikmati lagi.
Akhirnya saya menunda kepergian, masuk ke kamar mengambil kamera, lalu keluar membuka pintu garasi, menutupnya lagi dan berjalan menuju sepeda kumbang itu. Selain dua anak SD yang sedang membeli, ada juga dua gadis kecil sedang menunggu manis.
“Berapaan Pak ?”. Tanya saya kepada pria berkumis itu. “2000 tiga”. Ternyata kue putu itu dijual seharga Rp.2000/tiga buah. “4000 ya, Pak”. Saya pun memesan lalu berdiri ikut menunggu. Sambil mengamati kue putu dibuat, ingatan saya pun kembali terlempar ke masa-masa kecil dulu. Ternyata ada juga penjual kue putu itu di sini, cara dibuatnya pun masih sama. Dengan cetakan dari potongan bambu bahan-bahan itu dimasukkan, ditambah gula merah lalu diletakkan di atas lubang kecil tempat uap air panas keluar.
Pesanan dua anak SD dan dua gadis kecil jadi lebih dulu, mereka pun pergi. Kembali saya memandangi mereka, mengingat dulu pun saya pernah seperti mereka.
Akhirnya 6 kue putu saya selesai. Ada yang beda dengan kue putu ini dengan kue putu saya semasa kecil. Kue putu ini berwarna putih sementara kue putu yang dulu sering saya makan berwarna hijau. Jika dulu kue putu disajikan di atas selembar daun pisang, kini kue putu dibungkus koran yang dilapisi kertas minyak. Meski demikian taburannya masih sama yakni parutan kelapa.
Usai menerima kue putu saya tak lantas pergi. Kami berkenalan nama lalu berbincang sebentar. Pak Harjanto bercerita perihal putu berwarna hijau yang dulu sering saya makan. Rupanya ia pun sesekali membuat putu dengan aneka warna dengan menambahkan sedikit pewarna yang dibelinya di toko-toko kue. Mengenai aromanya ia menambahkan daun pandan ke dalam air rebusan yang digunakan untuk memanaskan putu.
Dari obrolan pendek itu pula pak Harjanto bercerita kalau ia sudah 18 tahun berjualan kue putu secara berkeliling. Ia memulai berjualan putu saat anak pertamanya lahir hingga kini akhirnya lulus sekolah menengah. Ia juga bercerita mengenai kue putunya yang sering dipesan untuk acara-acara besar. Menurutnya ia pernah membuat kue putu untuk acara yang digelar di Hotel Ambarukmo, sebuah hotel bintang 5 yang terletak bersebalahan dengan Ambarukmo Plaza. Pak Harjanto juga pernah diundang ke sebuah acara di Fakultas Teknik UGM dan membuat kue putu sebagai sajiannya. Ternyata selera asal jajanan tradisional seperti ini banyak dirindukan. Disukai banyak orang tak hanya saya.
Akhirnya perbincangan kami akhiri dengan berjabat tangan. Saya berjalan pulang menuju kos, membuka kue putu lalu mencicipinya dua buah, sisanya saya serahkan ke teman-teman. Saya lalu bergegas pergi dengan sepenggal kenangan masa kecil yang baru saja coba saya ulang walau tak sepenuhnya sama dan takkan pernah bisa menggantikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H