Perjalanan saya dan teman-teman ke Lembah Merbabu beberapa waktu silam tak akan pernah saya lupakan. Berbeda dari perjalanan-perjalanan sebelumnya yang berbuah pengalaman menyenangkan, perjalanan kali ini menyisakan satu cerita menyesakkan. Mungkin hanya di Indonesia hal ini terjadi. Entahlah, apakah karena negeri ini begitu kaya bahkan kelebihan hingga gampang untuk menjual murah kekayaan alamnya.
Perjalanan ke Lembah Merbabu di Wonolelo, Kabupaten Magelang ini sebenarnya tidak direncanakan. Tujuan kami sebenarnya adalah melakukan survey Anggrek di Lereng Barat Gunung Merapi melalui Babadan. Namun survey yang berakhir lebih cepat dari waktu yang direncanakan akhirnya membawa kami jauh melangkah hingga Lembah Merbabu. Di tempat ini Anggrek Arundina graminifolia dengan mudah dijumpai di lereng bukit sepanjang jalan. Di tempat ini pula kejadian dan cerita tak mengenakkan itu terjadi.
Dalam perjalanan pulang langkah kami terhenti ketika melewati sebuah bangunan sederhana berlantai tanah berdinding pagar bambu. Dari luar dapat dikenali kalau bangunan itu adalah sebuah kebun koleksi Anggrek. Kami pun masuk dan beruntung bisa bertemu pemiliknya, seorang warga sekaligus pemilik warung di tempat wisata yang tak jauh dari tempat kami berada. Kami berkenalan dan meminta izin mengambil gambar beberapa anggrek. Tertarik dengan banyaknya koleksi Anggrek di tempat ini, sayapun bertanya asal Anggrek-anggrek tersebut. Seperti yang saya duga, beliau mendapatkannya dengan mengambil dari hutan di sekitar lembah dan lereng gunung. Aktivitas pengambilan Anggrek dari alam oleh warga seperti ini bukan pertama kali saya jumpai dan memang banyak terjadi di banyak tempat. Namun di sini ada hal yang menyedihkan karena dengan jujur pemilik Anggrek bercerita sering menerima “pesanan” dari pembeli Anggrek luar kota yang menghendaki Anggrek alam dalam jumlah banyak untuk dijual kembali. Apakah hanya itu fakta menyesakkan dari Anggrek di Lereng Merbabu ini ?. Tidak, ada kenyataan lain yang lebih memprihatinkan.
Saya terkejut ketika melihat ada banyak tumbuhan ini di sini. Daunnya mirip daun lidah mertua, hijau dengan bercak hijau tua. Beberapa ada yang sedang berbunga. Dan saya semakin yakin ketika melihat bunganya dan mengamati beberapa karakter yang ada. Ini adalah Paphiopedilum javanicum atau Anggrek kasut hijau dan ternyata anggrek ini juga diambil dari hutan. Tak hanya itu, pemilik kebun juga memperjualbelikan anggrek ini dengan harga Rp.5000 per tanaman !!!. Dan demi mendengar pengakuan tersebut, kami langsung memberikan informasi tentang status Anggrek ini. Bukan hanya saja mengenai status konservasi anggrek ini yang dalam dokumen CITES dimasukkan dalam appendix I yang berarti dilindungi secara ketat dari aktivitas perdagangan termasuk perdagangan internasional namun juga nilai manfaatnya jika Anggrek ini tetap dibiarkan di alam. P. javanicum adalah anggrek kasut hijau khas pulau jawa yang kini sudah semakin jarang ditemukan di habitat alaminya.
Habitus dan bunga Paphiopedilum javanicum di Wonolelo, Kabupaten Magelang
P. javanicum atau Anggrek kasut hijau ini sering dijuluki anggrek kantung semar karena bunganya yang memilki kantung seperti halnya kantung semar. Anggrek ini memiliki karakteristik jasad sebagai berikut :
Akar : serabut, bentuk gilig, tumpul, 0,5 – 0,8 cm, warna coklat – coklat muda, berbulu halus, ujung sering menyempit, tumpul. Batang : bentuk gilig, sangat pendek, beruas, di dalam tanah, bagian aerial tertutup upih daun. Daun : bentuk lancet, jumlah sekitar 5 helai, permukaan atas hijau muda dengan bercak hijau tua, permukaan bawah hijau muda mengkilat, tulang daun sejajar, ujung tumpul, tepi rata, pangkal menyempit membentuk talang, letak berseling bertunggangan. Tangkai bunga : satu, di ujung batang, coklat tua, berambut halus, panjang 25 cm, beberapa porsi di atas membengkok. Bunga : satu, di ujung. Cepala dorsal : bulat telur, coklat tua dengan garis vertical hijau tua, ujung tumpul, kasar, permukaan mengkilat, ukuran 2,3 x 3,5 cm. Cepala lateral : bulat telur, hijau, pertulangan sejajar, ujung tumpul, mengkilat. Petala lateral : oblong, hijau muda bercampur coklat di ujung, ujung tumpul, kasar, mengkilat, bagian tepi terdapat bintik coklat. Bibir : bentuk kantung, hijau bercampur coklat, panjang 2,4 cm, kedalaman sekitar 2 cm, pertulangan jelas. Gynostemium : stamen 2, tertutup bagian berbentuk perisai yang bagian atasnya terbelah. Ovarium : hijau, kasar, panjang sekitar 5 cm, rusuk jelas, dengan braktea berbulu.
Keunikannya membuat P. javanicum diam-diam menjadi buruan banyak kolektor. Jadi bagaimana bisa Anggrek langka yang dikenal dunia karena keunikan bunganya dengan mudah diperjualbelikan bahkan lebih murah dari semangkuk bakso ??. Mengenai nilainya jika harus dihitung dengan rupiah sebenarnya anggrek ini bernilai ratusan ribu rupiah. Oleh karena itu harga 5000 rupiah yang diberikan oleh pemilik kebun jelas sangat menyenangkan dan menguntungkan para kolektor Anggrek nakal yang membelinya untuk dijual kembali.
Namun masalah sesungguhnya bukanlah pada nilai jualnya, melainkan pada kelestariannya. Perdagangan dan penjarahan telah membuat Anggrek ini semakin rentan. Dan kenyataan ini merupakan sebuah potret yang melengkapi banyak potret dari masalah kelestarian Anggrek alam Indonesia. Di saat pemerintah negeri ini masih menutup mata mengenai potensi Anggrek Indonesia, di sisi lain penjarahan dan perdagangan gelapnya tak pernah berkurang. Sedikit masyarakat yang mengenal Anggrek Indonesia tak jarang mengeksploitasinya secara berlebihan. Masyarakat yang selama ini hidup dengan memanfaatkan potensi Anggrek juga masih sering menilai Anggrek sebatas barang dagangan berharga murah. Konservasi Anggrek Indonesia memang sudah sangat mendesak untuk dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H