Di Indonesia sebuah pasar tradisional tidak hanya bermakna sebagai tempat interaksi sosial antara pembeli dan penjual namun juga kerap mengabadikan jejak sejarah perkembangan suatu daerah atau kota di mana pasar tersebut berada. Selain itu beberapa pasar tradisional juga menggambarkan keagungan berfikir manusia tempo dulu yang diwujudkan melalui arsitekturnya yang khas.
Pasar Gede Solo, Jawa Tengah.
Ada banyak pasar tradisional yang menyimpan memori kolektif sejarah masa lalu tentang daerah-daerah di Indonesia meski jumlahnya mungkin semakin berkurang atau tergusur oleh kemajuan zaman. Sementara sebagian lainnya direnovasi hingga menghilangkan arsitektur aslinya. Akhirnya tak banyak lagi pasar tradisional yang bertahan dengan catatan-catatan sejarahnya yang berharga. Dan tak banyak juga pasar tradisional yang asyik sebagai tempat berwisata.
Di Indonesia Pasar Beringharjo Yogyakarta mungkin menjadi yang paling dikenal sebagai pasar tradisional yang mampu melanjutkan sejarahnya sekaligus menjadi ikon wisata. Tapi tak hanya Pasar Beringharjo saja karena tak jauh dari Yogyakarta ada juga sebuah pasar tradisional yang masih kokoh berdiri dengan kebesaran dan sejarahnya yang terus dirawat hingga kini.
Pasar Gede Hardjonegoro atau yang biasa dikenal dengan Pasar Gede Solo adalah salah satu fragmen sejarah kota Solo. Berada di Jalan Jendral Sudirman menuju Jalan Urip Sumohardjo kota Solo, Pasar Gede berdiri menjadi ruang interaksi sosial sekaligus “monumen sejarah” Surakarta.
Dirancang oleh arsitek Belanda bernama Thomas Karsten, Pasar Gede mulai dibangun pada tahun 1927 dan selesai pada 1930. Pasar ini pun menjadi pasar tertua di Solo. Nama Hardjonegoro diambil dari nama seorang keturunan Tionghoa yang mendapat gelar KRT Hardjonegoro dari Keraton Surakarta. Oleh sebab itu Pasar Gede Solo juga menjadi sebagai simbol harmoni kehidupan sosial budaya yang telah berkembang di Solo pada waktu itu. Bahkan sepuluh meter di samping Pasar Gede terdapat sebuah klenteng yang masih berdiri hingga saat ini. Pasar Gede Solo memang berada di kawasan pecinan. Sementara itu nama “Gede” diberikan karena arsitektur pasar menyerupai benteng dengan pintu masuk utama berbentuk singgasana berukuran besar dan atap yang lebar. Ciri khas ini ini masih nyata dan dapat disaksikan hingga kini.
Gerbang utama Pasar Gede Solo dengan ukurannya yang besar dan arsitekturnya yang unik.
Tukang becak berjejer rapi di depan gerbang masuk Pasar Gede.
Sejak berdiri Pasar Gede menjadi pusat perdagangan antara masyarakat pribumi, China dan Belanda. Meski sempat mengalami beberapa kali pemugaran dan perbaikan, termasuk setelah sempat terbakar pada tahun 2000, Pasar Gede akhirnya menjelma sebagai pasar tradisional termegah di Solo. Arsitektur aslinya pun tetap dipertahankan.
Berbeda dengan Pasar Beringharjo Yogyakarta yang lebih dikenal sebagai sentra batik, Pasar Gede adalah pasar kebutuhan pokok. Sayuran segar, aneka bumbu, daging hingga buah-buahan mengisi ruang tengah pasar berlantai dua ini. Sementara itu pedagang makanan khas Solo berada di sekeliling lapak sembako. Ada puluhan penjual yang menjajakan nasi liwet, pecel, anek oseng-oseng, ayam goreng, dawet, kerupuk rambak, karak, intip hingga berbagai jenis jajanan pasar. Oleh sebab itu Pasar seluas kurang lebih 4.000 m2 ini tak hanya menjadi tempat berbelanja kebutuhan warga Solo namun juga menjadi destinasi wisata kuliner para pelancong. Dari tempat ini pula kita bisa menaiki becak berkeliling kota Solo karena puluhan tukang becak selalu berbaris di depan Pasar Gede menunggu penumpang.
Ruangan Pasar Gede yang lega dengan para pedagang yang berjualan di lapak-lapak yang tertata rapi. Tahun 2011 Pasar Gede ditetapkan sebagai Pasar Tradisional Terbaik di Jawa Tengah.
Meski dipenuhi banyak pedagang, tidak ada kesan sumpek di Pasar Gede Solo. Para pedagang berjualan di lapak yang tertata rapi. Lantai pasar meski tidak selalu bersih namun cukup kering sehingga nyaman untuk ditapaki. Yang tak kalah menarik adalah atapnya yang sangat tinggi sehingga ruangan di dalam pasar terasa sangat lega untuk dijelajahi. Pasar Gede juga dilengkapi dengan jembatan penghubung menuju pasar ikan yang terletak di depannya. Akses menuju pasar ini juga cukup mudah meski lalu lintas di sekitar pasar cukup padat. Dari Stasiun Purwosari, bus Batik Solo Trans siap mengantarkan kita tiba di depan Pasar Gede.
Sebuah jembatan melintan di atas jalan raya menghubungkan Pasar Gede dengan Pasar ikan.
Lalu lintas di sekitar Pasar Gede.
Batik Solo Trans, moda transportasi massal dalam kota Solo melintas di depan Pasar Gede.
Revitalisasi Pasar Gede Solo yang tetap dirawat sebagai fragmen sejarah dan ruang interaksi sosial dengan penataan interior dan lapak pedagang yang rapi patut menjadi contoh untuk pasar-pasar tradisional lainnya di Indonesia. Bukan sesuatu yang berlebihan karena di tahun 2011 Pasar Gede dinobatkan sebagai Pasar Tradisional Terbaik se-Jawa Tengah.
Pasar Gede Solo, fragmen sejarah dan budaya sekaligus ikon kota Solo.
Berada di pusat kota Solo, Pasar Gede menjadi ikon lain kota Solo. Dengan segenap “memori” yang dimilikinya, Pasar Gede telah menjadi aset budaya dan sejarah yang sangat bermakna bagi Solo dan masyarakatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H