Andai waktu bisa diputar kembali, apa yang ingin kamu ulangi lagi? Kalau pertanyaan itu diajukan kepada saya, ada banyak jawabnya. Tapi satu yang akan sangat senang saya rasakan lagi adalah menikmati kue putu.
Dulu semasa kecil duduk di halaman rumah menunggu penjual kue putu menjadi hal yang hampir setiap hari saya lakukan. Saat sore dan malam hari, di sela-sela waktu bermain dan belajar bersama teman-teman, selalu menyenangkan setiap kali ia muncul. Bahkan sekalipun baru terdengar bunyi suaranya dari kejauhan, saya  akan bergegas masuk ke dalam rumah, meminta uang jajan lalu kembali ke luar menunggu dengan muka riang. Setelah penjual putu tepat di hadapan, itulah saatnya merayakan kebahagiaan.
Kue putu adalah jajanan tradisional yang menemani masa kecil saya dan pasti juga banyak orang Indonesia lainnya yang mempunyai kenangan serupa. Dahulu kue putu dijajakan keliling oleh penjualnya dengan gerobak yang dipikul atau sepeda yang dimodifikasi bagian belakangnya. Dari gerobak atau sepeda itu kue putu langsung dibuat setiap ada pembeli.
Membuat kue putu dimulai dengan memasukkan satu sendok tepung beras ke dalam bambu. Menyusul di atasnya seruta gula merah dan dilapisi kembali dengan satu sendok tepung beras. Dengan agak dipadatkan cetakan kue putu dalam potongan bambu dimatangkan dengan uap panas yang keluar dari lubang kaleng berukuran besar. Kaleng tersebut menjadi sumber uap panas karena di dalamnya berisi air mendidih.
Bersamaan dengan suara unik tersebut kepulan uap seringkali keluar seperti cerobong uap di kapal atau lokomotif. Sebuah peragaan teknologi sederhana yang menarik bagi anak-anak di masa itu. Semakin menyenangkan karena di masa lalu kue putu selalu dinikmati dengan berbagi bersama-sama dengan teman bermain. Tak peduli siapa yang membeli atau membayar, semua nya pasti kebagian manisnya kue putu.
Belasan tahun berlalu. Ingatan tentang kue putu tak lekang oleh waktu sebagai bagian dari kenangan masa lalu. Bersyukur di tengah semakin langkanya penjual kue putu tradisional, masih ada sedikit orang yang menjajakannya. Kenangan akan kue putu bangkit kembali.
Pak Harjanto adalah satu dari sedikit penjual kue putu tradisional di Yogyakarta. Ia yang sudah berjualan kue putu sejak tahun 1994 hingga kini setia mangayuh sepeda tuanya berkeliling sejumlah tempat. Hampir setiap hari ia melewati jalanan dan kawasan perumahan di sekitar kampus UGM. Suara khas penjual putu masih terdengar nyaring dari seperangkat peralatan pembuat putu yang ia rakit di belakang sepeda.
Kue putu buatan Pak Harjanto sedikit banyak bisa mengobati rindu akan masa lalu. Apalagi saat melihat potongan-potongan bambu tempat mencetak kue putu yang disusun bertingkat di atas lubang beruap panas. Adegan memasukkan tepung beras dan menyisipkan serutan gula merah ke dalam bambu seketika melemparkan ingatan ke masa kecil.