Ikan Deho diasap di atas tempurung dan serabut kelapa yang dibakar. Dok. pri.
Langit mendung sempat memanyungi Ratatotok di Minahasa Tenggara, pada Jumat (1/4/2016) sore itu. Tapi suasana jalanan masih lumayan ramai. Beberapa bentor, sebuah kendaraan hibrid becak dan motor, terlihat berlalu lalang. Saat memasuki kampung Ratatotok Timur keramaian lebih terasa. Beberapa orang tua dan anak-anak duduk-duduk di muka rumah mereka.
Beberapa menit kemudian, seiring mendung yang memudar, mobil Rambo yang kami tumpangi berhenti di depan salah satu rumah nelayan. Di tempat itu kami akan menyantap hidangan khas, yakni Ikan Deho. Ikan Deho adalah sebutan masyarakat setempat untuk ikan tongkol berukuran kecil.
Saat kami tiba ratusan Ikan Deho sudah ditata di atas rangkaian bambu dan besi. Di bawahnya ada temburung dan serabut kelapa yang dibakar. Asap pembakarannya menerbangkan aroma yang mengundang penasaran akan rasanya. Apalagi, ikan tongkol adalah kesukaan saya.
Menurut sang nelayan, mengasapi Ikan Deho dengan tempurung dan sabut kelapa yang dibakar adalah cara pengolahan ikan yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Ratatotok Timur. Ia pun mengatakan bahwa ikan yang sedang diasap adalah bagian dari hasil tangkapannya hari itu yang mencapai hampir 100 kg. Ia lalu menunjukkan sebuah kotak berisi ikan-ikan dan es batu miliknya.
Karena prosesnya yang agak lama, sambil menunggu Ikan Deho matang, kami berjalan-jalan sebentar ke dermaga yang jaraknya tak terlalu jauh. Saat melongok aktivitas di dermaga saya bertemu dengan seorang kapten kapal nelayan dan ditawari ikut melaut pada jam 12 malam. Sayangnya saya tidak dapat menerima ajakan itu.
Meninggalkan dermaga, kami kembali ke rumah tempat perjamuan. Ikan Deho pun telah siap disantap. Ikan yang diasap tersebut matang dengan sempurna tanpa menyisakan jejak gosong berlebihan. Meski kulitnya menghitam namun bentuk ikan masih utuh.