Memasuki Pasar Klojen di Kota Malang pada Sabtu (17/12/2016) pagi itu seperti berada di pasar yang sedang libur. Hanya ada tiga atau empat orang pedagang yang sudah menggelar barang dagangannya. Sementara kios-kios dan los lainnya yang tersebar di penjuru pasar terlihat tutup.
Padahal, saat itu sudah pukul 06.00, waktu yang biasanya ramai untuk sebuah pasar rakyat atau pasar tradisional. Apalagi pada akhir pekan saat masyarakat, terutama ibu rumah tangga, biasanya berbelanja lebih banyak untuk kebutuhan keluarga
Ibu Sri, penjual pecel di dalam pasar mengatakan bahwa setiap hari Pasar Klojen memang sepi. “Pasar Klojen yo koyo ngene. Gak pernah rame (Pasar Klojen ya seperti ini. Tidak pernah ramai)”, katanya. Ia pun mengemukakan bahwa selain hanya menyisakan beberapa pedagang yang rutin berjualan, masyarakat yang berbelanja di Pasar Klojen juga tidak sebanyak dulu.
***
Pasar Klojen barangkali mewakili kebanyakan pasar rakyat di Indonesia yang saat ini semakin jarang dikunjungi masyarakat. Cahaya temaram dari beberapa lampu neon tak mampu menyembunyikan kondisi pasar dengan bangunannya yang kurang terawat, dinding tembok dan kayunya kusam, pengap, lembab, dan kemungkinan becek jika hujan turun.
Kondisi seperti demikian menarik jika diletakkan dalam sejarah dan dinamika pasar rakyat di negeri ini. Dahulu pasar rakyat adalah primadona masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Alasannya karena barang yang dijual beragam, segar, dan bisa ditawar. Keberadaan pasar rakyat di hampir setiap kecamatan, bahkan desa, membuatnya mudah dijangkau oleh masyarakat. Pasar rakyat juga menjadi tempat mencari nafkah bagi jutaan orang, seperti pedagang, pengelola pasar, buruh angkut, tukang becak dan profesi lainnya yang menopang kegiatan pasar. Pasar rakyat bagaikan lokomotif ekonomi yang menggerakkan sektor perdagangan, pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dan lain sebagainya.
Selain itu, interaksi sosial yang terbangun di dalamnya menjadikan pasar rakyat sebagai rumah konservasi kearifan lokal. Di beberapa daerah bahkan ada pasar rakyat yang menjadi saksi bisu sejarah perkembangan daerah atau kota tersebut.
Pasar rakyat pun semakin terdesak. Hasil survei AC Nielsen pada 2013 menunjukkan jumlah pasar rakyat di Indonesia yang pada 2009 ada sekitar 13.450, tersisa tinggal 9.950 pada 2011. Sementara menurut Badan Pusat Statistik pada 2013 ada sekitar 1,625 juta pedagang pasar rakyat yang gulung tikar karena kalah bersaing dengan pasar modern, seperti supermarket dan minimarket.
Dengan semua kenyataan tersebut, wajar jika ada pertanyaan sekaligus kekhawatiran, akankah kelak pasar rakyat lenyap ditelan zaman?
***