Mungkin anak jaman sekarang banyak yang tak mengenal Cenil dan Tiwul. Berbeda dengan generasi 90-an yang memiliki kenangan dengannya karena cenil dan tiwul dahulu menjadi jajanan favorit anak sekolah atau cemilan di kala bermain. Sebaliknya panganan khas beberapa daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta ini sering dianggap kuno dan dicap jajanan kelas bawah.
Cenil dan Tiwul Mbah Hadi tetap bertahan dan berhasil menarik minat masyarakat untuk kembali menikmati jajanan tradisional.
Cenil dan tiwul adalah jajanan unik dengan cita rasa manis bercampur taburan kelapa parut yang gurih. Bahan dasar cenil adalah tepung sagu atau pati dari singkong. Teksturnya kenyal dengan warna merah, putih atau hijau. Disajikan dengan taburan gula pasir atau gula jawa cair. Sementara tiwul adalah olahan dari singkong yang dikeringkan atau disebut gaplek. Gaplek ditepungkan dan diolah menjadi butiran-butiran seperti beras yang selanjutnya dikukus. Tiwul yang sudah diolah memiliki rasa manis dan gurih dengan taburan kelapa parut. Tiwul sangat identik dengan masyarakat Gunung Kidul.
Kini cenil dan tiwul menjadi makanan bagi segala kalangan. Seiring kerinduan sejumlah orang akan kenikmatannya, cenil dan tiwul juga diburu oleh banyak orang termasuk mereka yang tak mengenalnya semasa kecil. Keunikan bentuk dan rasa keduanya menarik lidah banyak orang dari berbagai kelas sosial untuk menikmatinya.
Di Yogyakarta tak banyak penjaja cenil dan tiwul yang bertahan selama puluhan tahun, Mbah Hadi adalah salah satunya. Nama Mbah Hadi memang cukup dikenal oleh penikmat jajanan tradisional di kota Jogja. Cenil dan tiwul Mbah Hadi punya banyak pelanggan terutama mereka yang memiliki kenangan dan kerinduan akan jajanan masa kecilnya. Sejumlah wisatawan pun sering sengaja mampir hanya untuk memenuhi rasa penasarannya dengan cenil dan tiwul.
Menariknya cenil dan tiwul Mbah Hadi tidak dijajakan pagi atau siang hari layaknya jajanan pasar biasa dijajakan. Setiap harinya Mbah Hadi menjajakan cenil dan tiwulnya mulai pukul 16.30 hingga 20.00.
Selain itu tempat berjualan Mbah Hadi juga terbilang menarik. Ia seperti menantang sekaligus ingin membuktikan bahwa jajanan tradisional tidak lagi hanya dijual di daerah pinggiran. Mbah Hadi menjajakan cenil dan tiwulnya di pusat kota Jogja, tepatnya di Jalan AM. Sangaji, 80 meter di utara Tugu Jogja. Dari arah tugu berjalanlah pelan menyusuri trotoar di kiri jalan. Tempat Mbah Hadi berjualan berada di sudut sempit di depan sebuah warung tak jauh dari gereja. Tempat berjualannya hanya berupa lapak dengan beberapa lembar seng sebagai atap. Calon pembeli yang belum pernah mampir kerap terkecoh karena tempatnya yang sangat sederhana dan tidak mencolok. Satu-satunya yang membuat tempat berjualan cenil dan tiwul Mbah Hadi mudah dikenali adalah gerombolan pembeli yang mengerubunginya terutama pada sore hari saat baru buka.
Cenil dan tiwul Mbah Hadi disajikan dalam sepincuk daun pisang yang memperkuat eksotisme jajanan tradisional. Daun pisang juga menghasilkan aroma khas saat bersentuhan dengan cenil atau tiwul yang masih hangat. Jika hendak dibawa pulang beberapa lembar daun pisang juga akan digunakan untuk membungkusnya. Sepincuk cenil dan tiwul Mbah Hadi masing-masing dihargai Rp. 2.500. Harga yang cukup murah meriah untuk sepincuk kenikmatan.