Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Makna di Balik Gagalnya Earth Hour 2015

30 Maret 2015   14:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:47 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Earth Hour Indonesia kembali menggelar aksi dan perayaan hemat energi pada Sabtu, 28 Maret 2015 yang lalu. Kampanye yang digalakkan oleh WWF tersebut bertujuan menahan laju pemanasan global tersebut dilakukan dengan mematikan alat listrik yang tidak diperlukan selama 1 jam. Dalam aksi yang digelar di sejumlah kota di Indonesia tersebut, Earth Hour mengajak masyarakat melakukan seremoni penghematan listrik dari pukul 20.30-21.30, waktu di mana beban penggunaan listrik di Indonesia pada umumnya mencapai puncak.

[caption id="attachment_358127" align="aligncenter" width="588" caption="Rangkaian lilin membentuk logo Earth Hour "60 +" dalam seremoni Earth Hour di Nol Kilometer Yogyakarta tahun 2013."][/caption]

Namun aksi selama 1 jam tersebut ternyata tak sesuai harapan. Kampanye Earth Hour 2015 bahkan bisa dianggap gagal karena tidak terjadi pengurangi beban listrik secara signifikan. Berdasarkan data PLN beban listrik Jakarta pada perayaan Earth Hour masih berada di angka 3.322 Mega Watt (MW), atau hanya turun 4,73 persen dibandingkan beban dua pekan sebelum Earth Hour yakni 3.487 MW.

Sementara di Jawa Barat beban listrik hanya turun sekitar 0,22& ke angka 4.072 MW.
Bahkan secara umum di Jawa, Madura dan Bali beban listrik naik 1,99% menjadi 19.680 MW pada saat Earth Hour. Hal yang sama terjadi di Sumatera di mana beban listrik naik 1,52% ke angka 4.218 MW.

Sebagai perbandingan Earth Hour 2014 berhasil menurunkan beban listrik di wilayah Jawa, Madura dan Bali sebesar 509 MW. Naiknya beban listrik saat Earth Hour bukan kali ini saja terjadi. Pada tahun 2013 beban listrik juga mengalami kenaikan secara nasional saat kampanye Earth Hour.

Beberapa hal diungkapkan sebagai penyebab penyebab gagalnya penghematan listrik saat Earth Hour 2015. Selain kurangnya sosialisasi, meski kampanye ini sudah berlangsung sejak 2008, faktor cuaca yang panas di bulan Maret juga dianggap memicu masyarakat untuk enggan mematikan alat listrik seperti pendingin udara di malam hari sekalipun. Meski cukup relevan namun alasan-alasan di balik meningkatnya beban listrik di saat Earth Hour 2015 justru menyiratkan makna dan mengklarifikasi sejumlah hal, antara lain:

Pertama, kampanye dengan “model hari dan waktu” terbukti kurang efektif di Indonesia. Satu Hari Tanpa Nasi, Satu Hari Tanpa Kendaraan Pribadi, Satu Jam Mematikan Listrik dan model serupa selama ini belum bisa memenuhi tujuan bahkan kerap menghasilkan yang sebaliknya. Pada tingkat lokal kampanye tersebut mungkin berhasil namun secara umum tak pernah benar-benar menjadi momentum untuk perbaikan yang berdampak signifikan.

Kedua, kampanye seperti Earth Hour yang diiniasi dari luar negeri seringkali hanya disambut sebagai keriaan sesaat oleh masyarakat Indonesia. Ada kesan gerakan yang diadopsi dari luar perlu diikuti hanya karena motif ikut-ikutan atau tidak ingin ketinggalan zaman. Bandingkan dengan gerakan yang berasal dari inisiatif masyarakat sendiri seperti model petisi atau koin sumbangan, hal itu seringkali sukses menggerakkan partisipasi masyarakat meskipun hanya sekali.

Ketiga, kegagalan Indonesia menjalankan pembangunan yang berkelanjutan sejak tahun 1970-an telah berdampak besar pada cara pandang dan mental masyarakatnya. Banyak di antara kita masih berorientasi “saat ini” dan belum terbiasa melakukan sesuatu dengan motif “masa depan”. Mental masyarakat Indonesia yang memandang sumber daya energi sebagai barang umum dan hak hidup tidak disertai pemahaman yang cukup tentang konservasi. Padahal penggunaan energi tak bisa dilepaskan dari konsekuensi dan tanggung jawab konservasi. Dengan demikian gagalnya Earth Hour 2015 menyiratkan pesan dan makna bahwa revolusi mental memang mendesak untuk dilakukan. “Ini Aksiku!, Mana Aksimu?”, slogan kampanye Earth Hour ini ternyata relevan untuk Indonesia.

[caption id="attachment_358129" align="aligncenter" width="535" caption=""Ini Aksiku, Mana Aksimu?", slogan Earth Hour Indonesia yang masih belum mendapat "jawaban" memuaskan."]

142770153369422754
142770153369422754
[/caption]

Earth Hour adalah sebuah kampanye yang baik dan perlu terus didukung. Namun hal itu tampaknya bukan hal mudah untuk dilaksanakan di Indonesia. Diperlukan ajakan serta teladan secara terus menerus dan berkelanjutan. Yang terpenting Earth Hour sebaiknya tidak dianggap sebagai solusi masalah energi melainkan sebagai salah satu cara untuk merevolusi mental masyarakat agar mau mengatasi masalah secara bersama-sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun