Indonesia memang surganya makanan enak. Hampir semua daerah di negeri ini memiliki makanan khas yang nyaris tak pernah gagal menggoyang lidah. Beberapa daerah dan kota bahkanmewarisi lebih dari satu makanan khas. Tak salah jika ada ungkapan “mencari alamat di Indonesia memang tidak mudah, tapi menemukan makanan enak tak perlu susah payah”.
[caption id="attachment_303116" align="aligncenter" width="561" caption="Sejumlah orang menyantap Nasi Jamblang di Jalan Siliwangi Cirebon, 29 Maret 2014. Nasi Jamblang adalah salah satu makanan khas kegemaran masyarakat Cirebon yang diburu banyak wisatawan. "][/caption]
Salah satu kota yang memiliki sajian kuliner nikmat adalah Cirebon. Daerah di pantai utara Jawa Barat ini dikenal sebagai tempat yang memanjakan lidah para pemburu kenikmatan rasa. Kuliner Cirebon juga sangat khas karena tidak sama dengan corak makanan Jawa Barat pada umumnya namun juga berbeda dari olahan khas Jawa Tengah. Kuliner Cirebon seperti memiliki identitas otentiknya sendiri. Itu pula yang saya temui ketika berkunjung selama 2 hari ke Cirebon pada akhir Maret yang lalu.
Lezatnya kuliner Cirebon sudah bukan rahasia lagi dan selalu diburu oleh siapapun yang mengunjungi kota ini. Oleh sebab itu sebelum berangkat saya merasa perlu untuk mencatat apa saja yang harus dicicipi di Cirebon. Rencananya saya ingin berburu kuliner nikmat itu pada hari kedua karena hari pertama harus menghadiri undangan yang menjadi tujuan utama saya ke Cirebon. Namun tak disangka penasaran saya akan kelezatan makanan khas Cirebon langsung terpuaskan di hari pertama.
[caption id="attachment_303118" align="aligncenter" width="486" caption="Docang Ibu Kapsa di Jalan Siliwangi Kota Cirebon, tempat paling pas untuk menikmati Docang khas cirebon yang termahsyur (dok. pribadi)."]
Sajian pertama yang saya cicipi adalah Docang. Dulu saya mengira makanan ini adalah sejenis lontong opor. Namun anggapan saya ternyata keliru karena meski sama-sama berkuah, Docang ternyata lebih unik dari segi tampilan dan rasa. Saya beruntung bisa mencicipinya di tempat yang menjadi rujukan jika ingin mencicipi Docang khas Cirebon. Lebih beruntung lagi karena tempat tersebut persis berada di sebelah hotel tempat saya menginap di Jalan Siliwangi Kota Cirebon.
Docang adalah menu sarapan favorit masyarakat Cirebon dan Docang Ibu Kapsa merupakan tempat paling tepat untuk mencicipi kenikmatannya. Berjualan di pinggir jalan Siliwangi dengan menggunakan tenda sederhana, tempat ini sangat mencolok karena nyaris tak pernah sepi pengunjung. Sedari jam 6 hingga 10 pagi ratusan orang silih berganti mengisi beberapa meja dan kursi yang tersedia. Begitupun saat saya tiba sudah ada puluhan orang yang sedang duduk lahap menikmati Docang. Sementara beberapa orang lainnya termasuk saya harus sejenak mengantri menunggu ada kursi yang kosong.
Beruntung tak harus menunggu lama dan ternyata sepiring Docang pesanan saya pun tiba dengan segera. Pertama kali melihatnya saya membutuhkan satu hingga dua menit untuk mengamati bentuknya. Sepintas Docang mirip lontong sayur namun saya buru-buru meralat anggapan tersebut saat menemukan semua isian Docang adalah bahan nabati.
[caption id="attachment_303119" align="aligncenter" width="630" caption="Docang khas Cirebon, berisi aneka bahan nabati seperti tauge dan daun singkong yang disiram kuah panas. Dinikmati dengan irisan lontong dan kerupuk putih (dok. pribadi)."]
Tampilan Docang seperti bentuk antara soto, lontong sayur dan sayur berkuah. Sepiring Docang terdiri irisan lontong, daun singkong, tauge setengah matang yang disiram dengan kuah panas. Ke dalamnya ditambahkan kerupuk putih yang dihancurkan dan sedikit oncom yang diremah. Tak ketinggalan ada taburan kelapa parut. Bagisaya komposisi ini kurang lazim. Apalagi kuahnya dengan jejak minyak yang tipis sempat menimbulkan keraguan bagi lidah saya.
Namun saya salah duga. Satu sendok Docang pertama yang masuk ke dalam mulut cukup mengejutkan. Rasanya tidak sama dengan dengan lontong sayur, sayur berkuah apalagi opor. Rasa nikmat Docang benar-benar otentik. Memang ada jejak rasa lontong sayur namun lebih kuat cita rasa uniknya. Daun singkongnya terasa segar sementara taugenya cukup renyah di mulut. Kuahnya meski tampak jenuh namun cukup ringan di lidah. Ada sedikit jejak rasa legit yang ternyata berasal dari oncom. Kerupuk yang tenggelam dalam kuah menambah ramai rasa sementara parutan kelapanya membuat semuanya semakin gurih.
[caption id="attachment_303120" align="aligncenter" width="355" caption="Docang menjadi menu sarapan nikmat di Cirebon (dok. pribadi)."]
Docang benar-benar sempurna sebagai menu sarapan yang lezat sekaligus sehat. Harga Docang di tempat ini pun sangat murah. Hanya dengan Rp. 6000 kita bisa menikmati sepiring Docang dengan kuah yang panas dan segar ditambah sepiring kerupuk serta segelas teh hangat tawar
Selama menikmati Docang mata saya sesekali memperhatikan orang-orang di sekitar yang lahap menghabiskannya sampai kuahnya nyaris kering tak bersisa. Beberapa orang bahkan tampak berkeringat menikmati segarnya Docang. Lidah memang tak pernah bohong dan Docang membukakenikmatan rasa Cirebon yang memuaskan lidah saya hari itu.
[caption id="attachment_303121" align="aligncenter" width="540" caption="Sejumlah orang duduk menyantap docang sebagai sarapan. Sementara sang penjual dengan cekatan meracik dan menyiapkannya (dok. pribadi). "]
Selesai sarapan Docang sayapun bergegas menuju kawasan Plered untuk menghadiri undangan. Sepulang dari acara tersebut tak disangka saya bisa mencicipi satu lagi kuliner Cirebon yang termahsyur yakni Empal Gentong. Seperti halnya Docang, empal gentong juga banyak dijumpai di kota wali ini. Bedanya empal gentong lazim dinikmati di siang atau malam hari.
Dari sekian banyak penjaja empal gentong di Cirebon, ada beberapa tempat yang menjadi referensi untuk dicicipi. Saya menemukan salah satunya di Jalan Fatahillah yakni Empal Gentong Mang Kojek.
Ini adalah pertama kalinya saya melihat dan mencicipi empal gentong. Ternyata sajian ini sangat mirip dengan gulai. Dinamakan empal gentong karena dimasak menggunakan gentong gerabah sementara daging yang biasa digunakan adalah daging sapi dan kambing.
[caption id="attachment_303123" align="aligncenter" width="486" caption="Empal gentong Mang Kojek, salah satu referensi menikmati lezatnya empal gentong khas Cirebon (dok. pribadi)."]
Siang itu saya mencicipi empal gentong dengan isian daging dan jeroan kambing. Empal gentong disajikan dengan nasi putih atau irisan lontong. Dalam semangkuk empal gentong daging kambing diiris kecil dengan ukuran seragam. Saya juga menemukan irisan daun kucai dan daun bawang di dalam kuahnya yang kuning namun tidak sekental gulai kambing pada umumnya. Agak berbeda dengan rasa kuah gulai, kuah empal gentong memiliki jejak rasa kunyit yang lebih terasa. Meski nikmat lidah saya membutuhkan adaptasi lebih lama untuk bisa menuntaskan semangkuk empal gentong.
[caption id="attachment_303124" align="aligncenter" width="535" caption="Empal gentong khas Cirebon. Racikannya menyerupai gulai dengan cita rasa yang lebih ringan di lidah (dok. pribadi)."]
Kenyang menyantap empal gentong sayapun kembali menuju pusat kota Cirebon. Dalam perjalanan menuju penginapan saya singgah sesaat di Alun-alun Kejaksan. Di tempat ini lidah saya kembali terpancing untuk mencicipi kuliner khas Cirebon lainnya yakni Tahu Gejrot. Berbeda dengan Docang dan Empal Gentong yang merupakan makanan berat, Tahu Gejrot adalah kudapan atau makanan ringan yang bisa dinikmati kapan saja.
Tahu gejrot diracik dari tahu goreng yang diiris kecil dan disiram kuah yang segar. Tahu yang digunakan seperti tahu pong atau tahu khas sumedang. Sementara kuahnya dibuat dai air gula dan cuka ditambah bawang merah dan cabe rawit yang ditumbuk kasar. Gurihnya tahu bercampur dengan sensasi rasa asam, manis dan pedas dari kuah, itulah kenikmatan tahu gejrot. Untuk menambah sensasi nikmat, tahu gejrot disajikan di atas piring gerabah berukuran kecil dan dimakan menggunakan tusuk lidi.
[caption id="attachment_303125" align="aligncenter" width="534" caption="Tahu gejrot adalah racikan tahu goreng khas Cirebon dengan siraman bumbu bercita rasa manis, asam dan pedas (dok. pribadi). "]
[caption id="attachment_303127" align="aligncenter" width="570" caption="Tahu Gejrot dinikmati di atas piring gerabah berukuran kecil menggunakan tusuk lidi (dok. pribadi)."]
Malam pun tiba, lagi-lagi saya beruntung berkunjung di akhir pekan sehingga bisa melihat bagaimana malam minggunya Cirebon. Malam itu kota Cirebon cukup ramai dan di sepanjang jalan asap bakaran ikan dan seafood cukup pekat menerbangkan aroma yang mengundang selera. Rupanya wajah Cirebon sebagai Kota Udang dan Seafood lebih terlihat di malam hari.
Namun saya tak tertarik mengisi perut dengan ikan bakar, udang atau seafood lainnya. Setelah mendapatkan referensi makan malam dari resepsionis di penginapan, kaki saya melangkah menuju sebuah tempat yang menjajakan sajian khas Cirebon yang sudah lama membuat saya penasaran. Di depan Stasiun Kejaksan, tepatnya di balik gapura Jalan Stasiun atau di samping tugu lokomotif saya duduk bersama beberapa orang lainya menghadap sebuah meja kayu sederhana. Malam itu saya menikmati Nasi Jamblang.
Nasi Jamblang depan Stasiun Kejaksan cukup popular sebagai tempat kuliner di pusat kota Cirebon. Tempatnya yang agak tersembunyi di balik gapura tak membuatnya sepi. Selain disukai masyarakat Cirebon, nasi jamblang ini juga disinggahi sejumlah wisatawan dan tamu hotel di sepanjang Jalan Siliwangi.
Nasi Jamblang adalah nasi putih yang dibungkus dengan daun jati. Menurut cerita daun jati digunakan karena tidak mudah rusak dan bisa membuat nasi lebih awet atau tidak mudah basi meski ditutup dalam waktu yang lama. Porsi nasinya sedikit sehingga mengingatkan kita dengan nasi kucing angkringan khas Yogyakarta dan Solo.