Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kue Cubit dan Kenangan Lama yang Tercubit Lagi

8 April 2014   13:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55 2439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenangan lama tercubit lagi, itu yang saya rasakan saat tak sengaja bertemu dengan si mungil yang manis dan lembut ini. Saya menyebutnya kenangan lama karena memang sudah sangat lama saya tak merasakan nikmat dan manisnya ia. Bahkan sudah belasan tahun saya tak menjumpainya setelah terakhir kali menemukannya di depan gerbang sekolah dan jalanan desa tempat saya menghabiskan masa kecil dulu. Selepas itu ia praktis menghilang dari keseharian saya, meninggalkan cerita dan kenangan.

[caption id="attachment_302330" align="aligncenter" width="630" caption="Kue Cubit, makanan kecil yang merupakan jajanan legendaris kesukaan anak-anak. Kue Cubit masih terus digemari dan dicari hingga kini meski tak lagi banyak yang menjajakannya (dok. pribadi)."][/caption]

Kenangan dibentuk oleh banyak hal, rasa dan ingatan. Kenangan bisa dipanggil ulang atau malah sering datang tanda diundang. Saat rindu ia ditunggu, tapi sering juga ia tak ditemui saat dicari. Tiba-tiba saja kenangan datang kembali tanpa permisi. Seperti kenangan ini, jajanan yang menemani masa kecil saya bernama kue cubit.

Kue cubit adalah makanan kecil yang cukup populer sebagai jajanan anak kecil dan orang dewasa di masa lalu. Dibuatdengan dipanaskan di atas cetakan logam, adonan kue cubit hampir sama dengan bahan pembuatan kue pukis seperti tepung terigu, telur, mentega, gula, vanili dan tak lupa taburan coklat di atasnya.

Dinamakan kue cubit karena cara menikmati kue ini adalah dengan mencubit sedikit demi sedikit bagiannya. Ada dua macam kue cubit yaitu yang berukuran kecil dan besar. Untuk yang berukuran kecil orang lebih sering menikmatinya langsung tanpa mencubit sehingga habis dalam sekali telan. Sementara yang berukuran besar memang lebih asyik dengan dicubit meski ada yang mengigitnya langsung sedikit demi sedikit seperti halnya menikmati roti atau kue lainnya.

Dahulu kue cubit adalah jajanan favorit anak sekolah di beberapa kota di Indonesia. Setiap istirahat atau pulang sekolah penjual kue cubit di depan gerbang sekolah selalu diserbu anak-anak. Kue ini juga dijajakan keliling kampung dan selalu berhasil menarik perhatian anak-anak yang sedang bermain di halaman rumah.

Semasa kecil kebiasaan saya dan teman-teman adalah menonton proses pembuatan kue cubit sambil menghirup aroma wanginya selama dipanaskan di atas cetakan. Menunggu kue cubit selesai dibuat, kami pun duduk atau berjongkok mengelilingi penjualnya. Jadi tak harus membeli untuk bisa nongkrong di depan penjual kue cubit karena biasanya hanya 1 atau 2 anak saja yang membeli jajanan ini. Tapi karena dalam 1 porsi kue cubit selalu lebih dari 1 buah, jadilah saya dan teman-teman selalu bisa berbagi jajanan enak ini.

Saya masih ingat saat bermain di pekarangan atau halaman rumah, masa-masa jeda antar permainan sering diisi dengan menyantap kue cubit bersama-sama. Tak peduli tangan kotor atau di tengah kebun, saya dan teman-teman menikmatinya dengan lahap. Begitu juga saat bepergian bersama ibu naik becak ke pasar dan melewati kota, seringkali mampir membeli kue cubit dari abang-abang penjual di pinggir jalan.

Kini belasan tahun sudah berlalu semenjak saya terakhir kali menikmati kue cubit ini semasa duduk di bangku SD atau SMP. Kue cubit memang masih digemari banyak orang terutama oleh mereka yang tumbuh dan besar berteman dengan jajanan ini, mereka adalah generasi kue cubit. Namun untuk menemukan kue cubit saat ini tidaklah mudah kecuali dalam acara-acara tertentu yang sengaja menghidangkan kue ini.

Di depan gerbang sekolah kini kue cubit tak lagi populer karena dikalahkan gerobak-gerobak penjual burger dan kentang goreng. Sementara di kampung-kampung abang penjual kue cubit tak melintas lagi. Kue cubit telah menjadi kenangan yang dirindukan oleh banyak orang. Dan tak disangka saya menjumpainya lagi ketika berkunjung ke Cirebon sepekan yang lalu.

[caption id="attachment_302331" align="aligncenter" width="535" caption="Sejumlah orang mengerumuni penjual Kue Cubit di Alun-alun Cirebon pada Minggu pagi, 30 Maret 2014 (dok. pribadi)"]

13969125441698709466
13969125441698709466
[/caption]

Di gerbang masuk alun-alun Kota Cirebon pagi itu sejumlah anak terlihat berdiri mengelilingi seorang laki-laki yang duduk menghadap gerobak pikul. Tak berapa lama anak-anak itu pergi sambil tangannya memegang sesuatu. Ditinggal anak-anak, gerobak pikul itu kedatangan beberapa orang lagi. Kali ini ibu-ibu dan remaja wanita.

Penasaran dengan keramaian itu saya pun mendekat. Dari celah kerumunan mata saya mengintip mencari tahu. Belum sempat bertanya, seolah membaca rasa penasaran saya sang penjual yang menangkap pandangan saya langsung berkata dalam logat sundanya, “Mari atuh, kue cubit ini namanya.” Ya, memang benar yang sedang saya lihat adalah kue cubit, jajanan yang menemani masa kecil saya!.

[caption id="attachment_302332" align="aligncenter" width="320" caption="Dua orang anak sedang menunggu Kue Cubit yang dibelinya. Kedua anak ini membawa ingatan saya mundur ke belakang (dok. pribadi)."]

1396912729106676232
1396912729106676232
[/caption]

Melihat kue cubit dimasak di atas cetakan panas ingatan saya segera terlempar jauh ke belakang mengingat masa-masa indah di waktu kecil. Mengingat saat duduk berjongkok menunggu kue cubit matang dan menikmatinya beramai-ramai dengan teman-teman. Diam-diam saya tersenyum mengenang itu semua, mengenang rindu kepada masa kecil.

Tanpa pikir panjang saya pun meminta untuk dibuatkan kue cubit. Ketika bertanya harganya, si abang penjual menjawab Rp. 4000 untuk satu porsi tuang adonan atau dibagi sebagian kue cubit sebagian lagi kue laba-laba. Saya pun mempersilahkan si abang untuk membuatkan keduanya.

[caption id="attachment_302333" align="aligncenter" width="540" caption="Adonan Kue Cubit dituang ke dalam cetakan. Saat itulah aroma wangi keluar dan membawa kembali ingatan saya tentang masa kecil (dok. pribadi)."]

1396912963364745167
1396912963364745167
[/caption]

[caption id="attachment_302338" align="aligncenter" width="535" caption="Sisa adonan kue cubit dituangkan secara sembarang di atas cetakan membentuk jaring laba-laba untuk membuat kue laba-laba (dok. pribadi)."]

13969145601832609206
13969145601832609206
[/caption]

[caption id="attachment_302334" align="aligncenter" width="540" caption="Kue cubit dan laba-laba yang hampir matang warnanya menjadi keemasan (dok. pribadi)."]

1396913230563666441
1396913230563666441
[/caption]

Satu demi satu pembeli pergi, saya pun bisa dengan leluasa melihat proses pembuatan kue cubit. Semua ternyata masih sama. Cetakan logam dipanaskan dan diolesi sedikit mentega cair. Tak lama kemudian adonan dituangkan memenuhi satu demi satu lubang cetakan yang berdiameter sekitar 3 cm. Perlahan adonan itu mengembang dan abang penjual menaburkan meses coklat di atasnya. Saya melihat lagi apa yang dahulu sering saya saksikan di masa kecil. Masih ada sisa adonan dan si abang menuangkannya begitu saja di sepanjang sisa cetakan yang belum terisi. Rupanya ia sedang membuat kue laba-laba karena bentuknya seperti jaring laba-laba.

Menunggu matang cetakan ditutup sebentar dan saya pun sempat berbincang dengan si abang. Ternyata ia sudah berjualan kue cubit selama 14 tahun. Seperti yang saya duga dulu ia menjajakannya di depan sekolah namun kiniharus berkeliling kota untuk menemukan pembelinya. Anak-anak SD menurutnya tak banyak lagi yang membeli kue cubit di sekolah. Bukan karena anak-anak tak mengenal kue cubit tapi di sekolah ada banyak jenis jajanan yang lebih menarik bentuknya.

[caption id="attachment_302336" align="aligncenter" width="345" caption="Kue Cubit yang mungil menyimpan sejuta kenangan tentang masa kecil yang tak terganti (dok. pribadi)."]

1396913398960509140
1396913398960509140
[/caption]

Hanya sekitar 5 menit kue cubit dan laba-laba saya jadi. Dengan menggunakan garpu abang penjual mengambil satu demi satu kue dari cetakan dan memindahkanya ke kertas minyak. Kini kue cubit dan laba-laba ada di tangan saya. Dengan sekali makan satu demi satu kue cubit masuk ke mulut tanpa saya cubit lebih dulu. Rasanya tak jauh beda dengan yang dulu menemani masa kecil saya.

[caption id="attachment_302337" align="aligncenter" width="600" caption="Kue Cubit dan Laba-laba. Bagi banyak orang menikmati kue cubit seperti merasakan kembali sepenggal masa kecil (dok. pribadi)."]

1396913498525880621
1396913498525880621
[/caption]

Rasa kue cubit memang tak lebih nikmat dari beberapa kue lainnya. Tapi sejuta kenangan tak terganti telah menjadi bumbu dan rasa yang menyatu nikmat dengan adonannya. Sambil menghabiskan kue terakhir mata saya menerawang mengingat waktu-waktu yang terlalui, mengenang indahnya masa kecil, merindukan kebersamaan sambil berbagi kue cubit dengan teman-teman.

Saya yakin ada banyak “generasi kue cubit” seperti saya yang merindukan rasa jajanan ini. Kali saya beruntung karena menemukan kembali teman masa kecil saya itu di saat banyak orang mungkin masih harus menyimpan rindu untuk menikmati kembali kue cubit. Mengenang masa lalu lewat kue cubit dan hari itu ingatan masa kecil saya tercubit kembali.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun