Suara pengumuman di stasiun Lempunyangan Yogyakarta menggema ketika saya sedang membaca buku catatan bersampul coklat. Agenda-agenda kecil sudah tertulis di sana. Beberapa yangditandai dengan lingkaran kecil menandakan tempat-tempat atau hal yang menjadi prioritas saya selama beberapa jam nanti di Surabaya. Semua sudah direncanakan semenjak 3 hari sebelumnya.
[caption id="attachment_312846" align="aligncenter" width="600" caption="Di dalam gerbong kereta menuju Surabaya pada 24 Juni 2014."][/caption]
Tapi pengumuman keterlambatan kereta membuat saya menutup buku catatan itu dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Kereta terlambat masuk stasiun selama 1 jam. Memang hanya 1 jam tapi semua yang pernah naik kereta ekonomi jarak jauh pasti tahu jika kereta terlambat 1 jam maka selama perjalanan ia akan terlambat datang di stasiun tujuan lebih dari 1jam. Saat itulah saya menganggap sebagian rencana telah gagal.
Jika tak terlambat saya masih punya waktu 4 jam sebelum bertemu dengan kekasih hati yang hari itu berulang tahun. Waktu 4 jam itu sudah saya niatkan untuk jalan-jalan sendiri mengunjungi sejumlah tempat makan dan taman di Surabaya. Mulai dari lontong balap, bakso rindu malam, hingga beberapa depo makan terkenal di jalan Kayoon dan Kutai sudah menjadi incaran. Kini daftar itu saya coret.
[caption id="attachment_312847" align="aligncenter" width="540" caption="Kereta yang terlambat memasuki Stasiun Lempuyangan Yogyakarta."]
![1403761343163971741](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1403761343163971741.jpg?t=o&v=770)
Kereta akhirnya tiba. Ditarik lokomotif berwarna putih, rangkaian gerbong berwana kuningbergerak mendekati barisan penumpang yang sudah menunggu sejak tadi. Satu di antaranya adalah saya yang menurut manifest penumpang PT KAI adalah pembeli tiket terakhir untuk kereta itu.
Tak lama kereta menaikkan penumpang di stasiun Lempuyangan. Beberapa menit kemudian gerbong besi sudah merangkak kembali. Pelan-pelan meninggalkan stasiun kereta berjalan lebih cepat menuju Solo.
Selepas Solo kekhawatiran itu terbukti. Kereta akan terlambat berjam-jam tiba di Surabaya karena selama perjalanan kereta terus berhenti di beberapa stasiun yang semestinya tidak disinggahi. Bukan untuk mengangkut penumpang tapi untuk mengalah memberi lintasan kepada kereta lainnya terutama kelas eksekutif dan bisnis. “Mengalah” adalah resiko yang harus diterima kereta ekonomi jika sudah terlambat berangkat.
[caption id="attachment_312848" align="aligncenter" width="540" caption="Pemandangan manis di pinggir rel."]
![1403761413872030706](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1403761413872030706.jpg?t=o&v=770)
Duduk di kursi 11 C gerbong 5 saya mencoba menikmati perjalanan. Hari yang yang masih terang memberi keleluasan untuk melempar pandangan ke seisi gerbong termasuk melongok pemandangan di luar. Ada banyak ruas perjalanan di mana kereta melewati celah di antara dua bukit yang membuat saya menebak kereta akan melewati terowongan tapi ternyata tidak. Sementara pada bagian lainnya kami melintasi persawahan yang tampak indah terlihat dari balik jendela kereta.
Saya adalah tipe orang yang susah tidur selama perjalanan. Mungkin itu sebabnya pula saya menjadi orang yang gemar mengamati lingkungan meski saya sebenarnya juga tidak terlalu menyukai keramaian. Dan gerbong kereta api bagi saya adalah tempat yang menyenangkan untuk “pengamatan”. Beberapa kali menumpang kereta api saya selalu senang mengintip kejadian-kejadian di dalam gerbong. Dari hal itulah saya mengerti beberapa tipe penumpang kereta api mulai dari yang suka tidur hingga suka makan.
Sepasang penumpang lanjut usia yang duduk terpisah 2 baris kursi dari saya selama perjalanan, saya mencatat 2 kali mereka memesan makanan termasuk nasi goreng. Mereka juga memesan pop mie rebus sebagai cemilan. Saya ingat betul mereka dua kali memesan kopi panas. Dari balik masker yang menutup hidung dan mulut saya tersenyum mengamati hal itu.
[caption id="attachment_312849" align="aligncenter" width="540" caption="Di atas gerbong yang melaju mereka berbincang tentang Presiden pilihan."]
![1403761489996772118](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1403761489996772118.jpg?t=o&v=770)
Lain penumpang lain pula tabiatnya. Tiga penumpang di seberang kursi saya mengisi waktu perjalanan dengan memperbincangkan pilpres. Dengan sangat cair mereka saling berbagi pendapat dan argumentasi. Untuk beberapa saat saya pun ikut menikmati obrolan mereka. Menurut pendengaran saya ketiganya sepakat memilih satu calon yang sama, Jokowi. Perbicangan mereka berakhir ketika salah satu orang di antaranya turun di Madiun.
[caption id="attachment_312850" align="aligncenter" width="540" caption="Kadang ada pikiran nakal melihat makanan dan minuman yang dibawa itu jatuh."]
![14037615621414766483](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14037615621414766483.jpg?t=o&v=770)
Hal lain yang saya sukai selama menumpang kereta api adalah mengamati pekerjaan awak gerbong yang mondar-mandir menawarkan makanan dan minuman kepada para penumpang. Dengan sigap di atas gerbong yang melaju mereka selalu sukses membawa baki dengan sejumlah kotak nasi dan gelas minuman tanpa pernah sekalipun saya melihat ada kejadian mereka jatuh dan makanannya berhamburan. Kadang pikiran nakal saya menghendaki melihat kejadian itu.
Saya pernah sekali mencoba makanan yang ditawarkan awak kereta. Satu kotak nasi goreng yang dihargai 23 ribu dan itu membuat saya mengumpat dalam hati karena selian rasanya yang tak jelas, juga porsinya yang sangat sedikit dan tidak lagi hangat. Saya sempat berfikir jika ada orang yang punya obsesi menjadi chef tapi tak cukup pandai memasak, maka PT. kereta api bisa mewujudkan mimpi mereka.
Asyik mengamati aktivitas penumpang lainnya, saya justru agak terganggu dengan 2 penumpang di kursi yang sama dengan saya. Mereka berdua naik dari stasiun Lempuyangan. Beberapa saat setelah duduk saya langsung bisa menebak mereka adalah pasangan dan lebih spesifik lagi mereka adalah anak pecinta alam. Tentu siapapun yang punya pengalaman organisasi di kampus bisa membedakan tipe-tipe aktivis mahasiswa mulai dari yang “anak BEM”, pegiat seni sampai pecinta alam, semua ada ciri spesifiknya.
Yang membuat saya terganggu dengan pasangan ini adalah “kelakuan” duduknya. Mentang-mentang pasangan, mereka duduk saling menyerong untuk bisa saling berhadapan. Posisi duduk menyerong ini membuat saya yang berada di pinggir hanya mendapatkan secuil alas duduk. Ironisnya mereka tak cukup peka dengan perbuatan mereka untuk berbagi tempat duduk secara layak. Tak hanya itu mereka juga cenderung berisik dengan bermain tebak-tebakan, saling memegang tangan, dan gimmick-gimmick ala pasangan ABG padahal mereka bukan ABG.
[caption id="attachment_312851" align="aligncenter" width="359" caption="Bawaan khas penumpang kereta, mulai dari tas, kardus hingga karung penuh barang."]
![14037616271447287015](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14037616271447287015.jpg?t=o&v=770)
Kereta terus bergerak meski tak cepat. Di beberapa stasiun ular besi ini harus berhenti lagi menunggu kereta dari arah Surabaya melintas. Selama itu pula saya masih terjaga mengamati suasana gerbong. Termasuk penumpang tepat di depan saya yang membawa cukup banyak barang yakni dua buah kardus, satu karung dan dua tas. Ia hendak menengok kampung halamannya setelah sekian lama merantau di Purwokerto.
[caption id="attachment_312852" align="aligncenter" width="359" caption="Teman seperjalanan menuju Surabaya."]
![14037617022072434584](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14037617022072434584.jpg?t=o&v=770)
Kereta api memang menjadi pilihan utama dan masih yang terbaik bagi banyak orang yang hendak bepergian jauh dengan membawa banyak barang. Tak heran jika tempat tas yang berada di atas kursi selalu sesak dengan barang bawaan penumpang. Jika masih kurang lorong-lorong di antara deret kursi termasuk di samping toilet bisa digunakan untuk meletakkan barang-barang.
[caption id="attachment_312853" align="aligncenter" width="360" caption="Berteman buku."]
![140376178667639668](https://assets.kompasiana.com/statics/files/140376178667639668.jpg?t=o&v=770)
Beberapa jam kereta sudah melaju tapi Surabaya masih jauh di depan sana. Saya menyimpan kamera dan mengeluarkan buku dari dalam tas. Ketika bepergian sebisa mungkin saya membawa satu atau dua buku di dalam tas. Jenis bukunya apa saja tapi biasanya buku yang belum tuntas saya baca.
[caption id="attachment_312854" align="aligncenter" width="506" caption="Stasiun Jombang, Jawa Timur."]
![14037618841497679390](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14037618841497679390.jpg?t=o&v=770)
[caption id="attachment_312855" align="aligncenter" width="540" caption="Penumpang yang hendak naik."]
![14037619511831561587](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14037619511831561587.jpg?t=o&v=770)
Kereta memasuki stasiun Jombang. Di sini sejumlah penumpang turun digantikan beberapa penumpang yang naik. Melihat tulisan di bangunan stasiun mendadak saya pun ingin turun. Di Jombang Pak De saya tinggal dan bekerja. Tapi kali ini tujuan saya adalah ke Surabaya untuk bertemu cinta.