Rabu (7/6/2017) malam smartphone saya tiba-tiba bergetar saat badan sudah nyaman di atas kasur. Segera saya mengambilnya dan menyambut suara di ujung sana. Ibu menelepon untuk sekadar bertanya "sedang apa?", "buka makan apa?", "sahurnya bagaimana?", dan "kapan pulang?".
Di antara pertanyaan-pertanyaan itu, pertanyaan "kapan pulang?" membuat saya mengambil jeda beberapa detik sebelum menjawabnya. Ada rasa haru dan rindu yang seketika melintas. Saya tahu jawaban dari pertanyaan itulah yang paling ditunggu.
Tak ada yang lebih diharapkan oleh orang tua menjelang Hari Raya Idul Fitri, selain kepulangan anak-anaknya. Begitu pun bagi sang anak, tak ada yang lebih membahagiakan untuk merayakan lebaran selain mudik dan berkumpul bersama keluarga.
Empat Belas Jam
Sebagai orang yang sedang jauh dari orang tua dan kampung halaman, saya adalah bagian dari jutaan masyarakat Indonesia yang menjalankan tradisi mudik setiap menjelang lebaran. Bahkan, sejak awal bulan Ramadan saya sudah mulai menghitung mundur untuk mudik.
Selama bertahun-tahun saya mudik dengan menggunakan bus jurusan Yogyakarta-Purwokerto dari terminal Giwangan, DIY. Bus patas eksekutif yang bagus, harga tiketnya wajar, dan banyak pilihan jam keberangkatan menjadi pilihan saya. Waktu perjalanannya sekitar lima jam melewati jalur selatan Yogyakarta hingga Banyumas, lalu beralih ke jalur tengah menuju Purwokerto.Â
Awalnya saya merasa "baik-baik saja" mudik dengan bus karena sekalian menikmati pemandangan dan sensasi mudik yang penuh cerita. Tapi seiring waktu hal itu semakin melelahkan. Saya harus antre panjang untuk membeli tiket di terminal karena setiap tahun penumpang mudik bertambah. Saat sudah mendapatkan tiket, saya masih perlu menunggu dua hingga tiga jam untuk berangkat. Penumpang yang antre lebih belakang pasti mendapat bus yang berangkat belakangan.Â
Waktu perjalanan juga semakin lama. Jalur selatan yang menghubungkan Yogyakarta hingga Purwokerto terkenal padat dan memilki banyak titik kemacetan serta perlintasan kereta. Kapasitas jalannya tidak mengalami peningkatan siginifikan meski setiap tahun kendaraan pemudik selalu meningkat. Sementara jalur alternatifnya sempit dan rusak di beberapa ruas. Kemacetan pun menjadi keniscayaan saat mudik melalui jalur selatan tersebut.
Berulang kali kami terjebak macet. Puncaknya saat memasuki Kebumen hingga Banyumas karena terjadi kecelakaan maut di Krumput. Ruas jalan di tempat itu ditutup dan arus kendaraan dialihkan ke jalur alternatif melalui Cilacap.Â
Di jalur alternatif kemalangan tak bisa kami hindari. Penumpukan kendaraan terjadi dari berbagai arah hingga mobil benar-benar tak bergerak untuk waktu yang cukup lama. Pukul 21.30 kami baru bisa menginjak lantai rumah. Jarak Klaten ke Purwokerto yang biasanya ditempuh selama enam jam, menjadi hampir empat belas jam!