Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jogja itu Ramah dan Pemaaf

1 September 2014   00:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:58 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya termasuk yang terkejut dengan olok-olok yang dilontarkan Florence di akun path miliknya yang kemudian menyebar luas, menyinggung sebagian warga Jogja lalu menjadi berita nasional. Tapi saya lebih terkejut mengetahui ia ditahan oleh kepolisian karena kejadian itu. Namun sayapun tak terlalu terkejut dengan banyaknya tanggapan terutama dari para netizen Jogja yang mencemooh balik Florence di media sosial maupun kolom komentar situs berita elektronik. Pada dasarnya tanggapan balik itu berisi sikap tidak terima atas pernyataan Florence yang menyebut Jogja miskin dan seterusnya.

Mengapa saya tidak terkejut dengan tanggapan warga Jogja terkait hal itu?. Sedikit banyak hal itu sudah dituliskan oleh kompasianer Fandi Sido beberapa hari lalu yang menyebutkan adanya keterikatan yang kuat antar warga Jogja, antar warga dengan daerahnya dan antara warga dengan Sultan. Kebetulan 3 unsur keterikatan itu yakni Jogja, orang Jogja dan Sultan Jogja semuanya disebut Florence dalam celotehannya. Maka wajar jika rasa ketersinggungan itu menjadi berkali-kali lipat ditambah efek massif dari karakter sosial media tentunya.

Hal berikutnya yang membuat saya tidak terlalu terkejut dengan kerasnya tanggapan netizen Jogja yang kemudian berbalik menyerang dan membully Florence adalah bahwa sayapun pernah menjumpai fenomena serupa dalam kadar yang lebih rendah. Pada salah satunya tulisan saya yang menjadi Headline di Kompasiana beberapa waktu lalu, saya mencoba melihat data statistik kemiskinan di Jogja dan kemudian menarik kesimpulan bahwa DIY adalah yang termiskin di Jawa. Saat itu muncul banyak tanggapan di kolom komentar yang hampir semuanya bernada defensif dan tidak setuju bahwa Jogja itu miskin. Saya beruntung mendapati input dari netizen Kompasiana yang tidak seofensif apa yang diterima Florence. Padahal dalam konteks tulisan itu saya pun sebenarnya bisa dianggap telah mengatakan “Jogja itu miskin”.

Namun sebenarnya sayapun mendapatkan tanggapan ofensif dari sejumlah netizen waktu itu. Saat mencoba melihat tautan berbagi di twitter saya menemukan beberapa tanggapan pada  yang kurang lebih bermakna : “kalau Jogja miskin masalah buat loe?!” atau “kalau nggak tahu Jogja nggak usah komentar miskin!”.

Dari sikap defensif yang berusaha menerima Jogja apa adanya, ternyata netizen Jogja bisa tamil menjadi sangat ofensif seolah-olah tak boleh ada yang mengkritik Jogja dan identitasnya. Saya percaya ini tidak terjadi di kebanyakan orang Jogja, tapi rasanya memang mencengangkan mencermati sikap ofensif netizen Jogja jika dikaitkan dengan karakteristik “wong Jogja” yang selama ini banyak kita tahu sangat terbuka.


[caption id="attachment_321775" align="aligncenter" width="630" caption="Poster damai Yogyakarta dari Keluarga Pelajar Mahasiswa Lombok dalam Sasak Day tahun 2013 (dok. pribadi)."][/caption]

Sedikit keluar dari kasus Florence, sikap defensive-ofensif netizen Jogja juga bisa dilihat dari beberapa kejadian seperti saat kendaraan plat luar Jogja yang seenaknya sendiri di jalanan Jogja kemudian “dibully” dan dipermalukan dengan cara disebar foto atau nomor plat di lini masa twitter. Atau gunjingan-gunjingan yang ditujukan kepada sekelompok orang dari daerah tertentu yang seolah-olah diidentikkan sebagai tukang pembuat onar di Jogja. Tentu isu kedaerahan tersebut tidak semestinya menjadi masalah namun nyatanya stereotype tersebut muncul di kalangan kecil masyarakat Jogja.

Kita juga masih ingat kasus penyerangan LP oleh oknum kopassus beberapa waktu lalu. Saat itu dukungan terhadap kopassus datang dari sejumlah kelompok masyarakat Jogja. Saat itu masalah etnis sempat mengemuka dan ikut dibawa-bawa. Dalam kasus Florence pun sempat terlihat sentimen etnis meski kita bersyukur hal itu kemudian tak menjadi besar.

Pada akhirnya kita memang pantas bertanya ada apa dengan Jogja?. City of tolerance itu kini seolah mudah dibuat panas oleh hal-hal yang sebelumnya hanya ditanggapi dengan guyonan khas Jogja. Ada apa dengan Jogja?. Mengapa netizen Jogja menjadi sangat ofensif dan mudah tersulut di media sosial padahal orang Jogja dikenal ramah dan pemaaf. Apakah ini semua semata hanya pengaruh media sosial yang itu berarti netizen Jogja belum dewasa dalam bermedia sosial seperti kebanyakan netizen di Indonesia?. Ataukah memang ada karakter-karakter “wong Jogja” yang mulai luntur

Saya pribadi menyayangkan fenomena ambivalensi yang sempat muncul di sejumlah akun twitter yang menghimpun informasi atau kabar tentang Jogja. Sedikit banyak ambivalensi itu membuat arus serangan terhadap Florence semakin menjadi-jadi. Ambivalensi itu saya tandai begini, pada suatu waktu akun twitter tersebut menghimbau untuk menyudahi membully Florence. Tapi di saat yang sama kicauan yang bernada ledekan atau parodi terhadap Florence tetap dikeluarkan dan diretweet. Sanksi (media) sosial memang tak bisa dihindari dan netizen Jogja tak bisa disalahkan untuk hal itu. Bagaimanapun Florence telah melontarkan penyataan yang menyinggung perasaan orang Jogja. Tapi ambivalensi di atas sedikit banyak menunjukkan bahwa faktor ketidakdewasaan dalam menggunakan media sosial berperan mempengaruhi kasus Florence.

Hari ini seniman dan budayawan asal Jogja Butet Kartaredjasa, seperti dimuat dalam kompas.com mengungkapkan kegeramannya terhadap penahanan Florence yang ia anggap justru membuat malu Jogja dan mencoreng kearifan warga Jogja. Bisa jadi sikap atau pernyataan Butet tersebut mencerminkan kegundahannya tentang karakter dan kearifan wargaJogja yang perlu untuk diperkuat kembali.

Karakter masyarakat Jogja yang sangat beragam perlu untuk dikelola dengan arif agar potensi konflik sekecil apapun bisa dicegah. Gejolak sosial memang selalu ada, tapi etnik, suku, warna kulit atau bahasa tidak semestinya mempengaruhi warga Jogja dalam memandang sebuah masalah.

[caption id="attachment_321776" align="aligncenter" width="576" caption="Yogyakarta, a Lovely City (dok. pribadi)."]

1409480771182897322
1409480771182897322
[/caption]

Kasus Florence, meski hanya riak kecil tapi harus segera diatasi dalam waktu cepat agar Jogja tetap menjadi laboratorium yang menjadi model toleransi serta perdamaian. Untuk Florence yang pada Senin esok pukul 08.00 WIB akan menghadapi dewan etik Fakultas Hukum UGM, anda boleh meyakini bahwa ada lebih banyak warga Jogja yang sudah memaafkan anda dan menganggap celotehan anda di path sebagai hal yang tidak apa-apa lagi. Pun demikian dengan dewan etik yang saya rasa tidak akan menyusahkan anda bahkan semoga memberi celah jalan keluar yang lebih baik. Celotehan anda memang sempat menganggu dan menyinggung warga Jogja, tapi saya yakin selama menempuh studi di Jogja dan mengenal warganya, anda sebenarnya tahu bahwa Jogja itu damai. Sebagaimana saya tahu juga Jogja itu Ramah dan Pemaaf, jika tidak bagaimana mungkin bisa banyak orang jatuh hati dengan Jogja.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun