Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Di Desa Membawa Kamera DSLR Dianggap Wartawan

7 Februari 2014   11:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:04 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang menarik ketika saya dan perwakilan sebuah stasiun TV swasta bertemu sekitar 3 bulan lalu untuk membahas permasalahan penggunaan foto-foto milik saya di salah satu acara mereka.  Pihak perwakilan TV mengira saya adalah pegiat fotografi profesional dan menawari saya untuk menjadi bagian dari kontributor mereka. Saya tersenyum mendapati salah duga tersebut sambil menjelaskan bahwa saya hanya hobiis yang sesekali memotret saat jalan-jalan. Saya pun kemudian menjawab tidak untuk tawaran mereka.

Sejumlah orang sedang mempersiapkan makanan untuk kenduri di desa. Keterbukaan warga desa salah satunya tercermin pada anggapan mereka terhadap orang yang datang membawa kamera DSLR adalah wartawan.

Kisah yang mirip terjadi ketika pagelaran Grebeg Maulud Kraton Yogyakarta 2014 di masjid Gedhe, Januari lalu. “Ayo minggir dulu, mase wartawan arep  liwat!” (minggir dulu, ini mas wartawan mau lewat”. Begitu teriak petugas keamanan sambil menertibkan ribuan orang di halaman masjid. Wartawan yang dimaksud adalah seorang jurnalis Kompas TV yang berdiri tepat di depan saya dan hendak keluar dari kepungan warga. Iapun akhirnya berhasil keluar dari kerumunan. Namun setelah itu sang petugas keamanan berlanjut meraih tangan saya. “Ayo mase terus ke sana”, sambil menunjuk ke arah tempat  khusus di mana para wartawan dan juru foto. “Saya bukan wartawan”. Saya menjawab itu namun sepertinya  tak didengar. Boleh jadi petugas keamanan itu mengira saya pun seorang jurnalis yang juga sedang berusaha keluar dari kerumunan warga, apalagi sebuah kamera dan tas bodypack melekat di badan. Sayapun tak menyia-nyiakan “perlakuan istimewa” tersebut hingga akhirnya bisa mengambil sejumlah foto detik-detik gunungan diperebutkan.

13917451871329857682
13917451871329857682
1391745261684660616
1391745261684660616
Suasana di salah satu sudut halaman masjid Gedhe Kauman Yogyakarta jelang perebutan Grebeg Maulud. gara-gara berdiri di belakang jurnalis Kompas TV dan membawa kamera saya mendapat celah "perlakuan istimewa" untuk mengambil banyak gambar kemeriahan Grebeg Maulud yang digelar Januari 2014 lalu.

Dua peristiwa tersebut membuat saya kembali teringat sejumlah pengalaman menarik yang kerap saya alami gara-gara kamera. Saya yakin banyak orang yang juga memiliki pengalaman seperti ini, ketika berjalan-jalan di desa, membawa kamera lalu dianggap wartawan. Di desa atau daerah yang jauh dari kota begitu mudah masyarakatnya mengidentifikasi seseorang yang berkunjung sambil membawa kamera terutama jenis DSLR sebagai wartawan.

Dianggap wartawan hanya karena membawa kamera dan tas tentu hal yang menarik. Jangankan di desa, di kota beberapa orang pun masih sering mengira pembawa DSLR adalah wartawan meski tak berkalung ID Press. Jika ingin membuktikan datanglah ke Malioboro sambil menenteng kamera. Jalinlah percakapan dengan sembarang pedagang asongan di depan Benteng Vredeburg. Ajaklah berbincang tentang keseharian mereka berjualan. Besar kemungkinan mereka akan bertanya dan mengira anda adalah wartawan yang sedang menghimpun informasi dari pedagang asongan. Anggapan yang wajar karena para pedagang asongan di depan Benteng Vredeburg  selama ini menjadi sasaran penertiban Satpol PP Kota Jogja sehingga mereka merasa perlu hati-hati dalam berkomentar dan mudah “curiga” jika ada orang bertanya sambil membawa kamera.

Tapi di desa kita tak perlu banyak bertanya atau mengajak berbincang warga  untuk segera dianggap wartawan. Cukup berjalan-jalan di sawah atau jalan desa sambil membawa kamera.

Anggapan banyak warga desa kepada orang asing yang membawa DSLR sebagai wartawan memang sangat kuat. Suatu ketika saya berjalan-jalan di desa tetangga tempat kakek saya tinggal. Terkesan dengan aktivitas beberapa orang yang sedang mencangkul dan menebar pupuk di sawah sayapun mengambil beberapa gambar. Saat itulah sebuah suara terdengar memanggil dari kejauhan. Berkali-kali saya abaikan karena mengira panggilan itu bukan untuk saya hingga akhirnya orang itu berjalan cepat mendekat ke arah saya. Ternyata beliau adalah kepala desa yang juga seorang pemilik sawah. Kebetulan saat itu ia sedang menghadapi masalah tentang kesulitan petani warganya dalam menjual hasil panen. Berkali-kali dijanjikan oleh pejabat terkait akan dikunjungi namun selama itu ia hanya menunggu janji. Singkat cerita ia mengira saya seorang wartawan dan mengharapkan ekspose tentang kesulitan petani di desanya. Sayapun menjelaskan maksud kedatangan saya yang hanya berekreasi sambil berkata tentang kakek saya. Beliau pun akhirnya mengerti meski tetap melanjutkan “curhat” tentang kehidupan petani di desanya. Beruntung bisa mendengarkan cerita beliau meski di saat yang sama saya dibawa untuk melihat fakta bahwa di Indonesia petani memang banyak diberi janji dan hanya janji.

1391745541107559337
1391745541107559337
Seorang penjual kain lurik yang saya temui di Pasar Cawas 2 tahun lalu. Ia mengira saya adalah orang dari TVRI yang hendak meliput lurik khas Cawas.

Dua tahun lalu saya juga mengunjungi sebuah pasar tradisional di Cawas yang berbatasan dengan Gunung Kidul, sekitar 3 jam dari pusat kota Jogja. Maksud hati ingin melihat-lihat kerajinan kain lurik yang terkenal dari daerah tersebut namun rupanya saya datang terlalu siang. Ternyata jika ingin melihat suasana pasar lurik saya harus datang sebelum pukul 6 pagi. Terlanjur tiba di pasar sayapun memutuskan untuk berkeliling sejenak di dalamnya. Beruntung masih ada seorang penjual lurik yang belum menutup lapak sederhananya. Sayapun singgah dan membuka percakapan dengan menanyakan tentang lurik. Tak disangka bapak penjual lurik tersebut begitu cepat mengira saya sebagai orang TVRI daerah. Sialnya kali ini saya agak kerepotan menjelaskan yang sebenarnya bahwa saya hanya wisatawan. Namun bapak itu masih tak tak percaya. Ia malah bersemangat bercerita tentang dirinya, tentang mantan presiden Soeharto dan tentang lurik yang dijualnya. Setengah jam kami duduk berbincang di tengah pasar yang sumpek hingga akhirnya saya berpamitan dengan label “wisatawan salah waktu”.

Sementara pada Agustus 2013, ketika  sedang ada di Jawa Tengah tak sengaja saya menjumpai keramaian ibu-ibu. Ternyata saat itu sedang digelar lomba memasak yang diikuti perwakilan kelompok arisan di desa dalam rangka menyambut HUT Republik Indonesia. Terkesan dengan kemeriahan dan hebohnya mereka memasak ala master chef, sayapun mengambil beberapa gambar dari sejumlah sudut. Singkat cerita seorang ibu berkomentar : “wah isin aku dipoto!”. Komentarnya disambut tawa yang kemudian disusul pertanyaan seorang ibu lainnya: “Buat di mana mas, Suara Merdeka?”. Ia mengira saya orang dari harian Suara Merdeka yang populer di Jawa Tengah. Buru-buru saya mengklarifikasi.

Di desa orang yang membawa kamera apalagi DSLR akan dengan mudah dikira sebagai wartawan, setidaknya beberapa warga desa memang memperlakukannya demikian. Sesuatu yang agak berbeda dengan kondisi beberapa tahun silam di mana warga desa biasanya mengidentifikasi orang yang membawa kamera “hanya” sebagai wisatawan atau orang yang datang dari kota. Namun itulah menjadi bagian keramahan warga desa kepada setiap orang yang datang. Tak heran jika memotret aktivitas warga desa selalu menyenangkan karena keterbukaan mereka. Tanpa kita minta izin lebih dulupun, seringkali senyum dan gesture mereka sudah berbahasa bahwa mereka tak keberatan kegiatannya diabadikan lewat kamera.

13917456821761312239
13917456821761312239

13917457351094631325
13917457351094631325
Berkunjunglah ke sebuah desa, lalu berjalanlah menyisir jalan  dan sawahnya. Jika ada yang menarik ambilah gambarnya dan bersiaplah dikira wartawan oleh warga desa.

Dianggap orang koran karena membawa kamera dan memotret aktivitas petani di sawah. Dikira orang TV karena membawa kamera saat mengunjungi sebuah pasar tradisional yang jauh dari kota. Dan  suatu hari saya baru akan bersiap memotret ibu-ibu yang sedang menanam padi ketika salah seorang di antara mereka menyadari niat saya dan dengan lugu ia berkata: “duh malah arep dishoting, kangge koran nopo mas?” (Aduh malah akan dishooting, buat koran apa mas?).

Ya, di desa banyak orang menyebut dipotret dengan “dishooting” layaknya pengambilan gambar video. Di desa orang mudah mengira pembawa kamera DSLR adalah wartawan. Terdengar lucu karena keliru tapi itulah menariknya berjalan-jalan ke desa. Meski sepanjang itu kita harus siap untuk sering menjawab: “Bukan, Pak, Bu, saya bukan wartawan”.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun