Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Copy-Paste, Dosa yang Jadi Biasa di Facebook & Twitter

21 Juli 2013   05:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:15 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1374360512561856664

Kemarin sore saya mendapat sms dari seorang adik mahasiswa UGM yang sedang melaksanakan KKN di Bangka. Dalam smsnya ia meminta izin untuk menggunakan foto-foto anggrek alam Indonesia milik saya sebagai bagian  materi yang akan disampaikannya dalam kegiatan KKN. Sebagian foto tersebut sudah digunakan sebagai materi presentasi di seminar nasional. Beberapa juga saya unggah di grup internal facebook BiOSC UGM.

Sebetulnya mereka faham ketika saya mengunggah file dan foto anggrek di facebook atau video rekaman anggrek alam Indonesia di youtube, saat itu pula saya mengizinkan mereka menggunakannya untuk kepentingan sosialisasi, pelatihan atau presentasi anggrek alam Indonesia. Sayapun kerapa menyampaikan bahwa mereka bisa menggunakannya kapanpun untuk tujuan yang disepakati bersama. Bahkan jika menghendaki file resolusi tinggi saya mempersilakan mereka mengcopy langsung dari laptop saya. Namun akhirnya setiap kali akan menggunakan materi tersebut, mereka tak pernah lupa memberitahukan kepada saya mengenai file yang mereka ambil dan kegiatan yang akan mereka jalankan atau ikuti.

Kebiasaan meminta izin tersebut tentu sangat baik. Meski sejak awal saya mempersilahkan penggunaan materi-materi tersebut, etika penggunaan materi di jejaring sosial tetap mereka kedepankan. Namun apakah semua pengguna jejaring sosial mengedepankan kebiasaan baik dan etika tersebut?. Kenyataannya tidak.

Sudah menjadi sebuah hukum jika loncatan teknologi selalu melahirkan budaya baru atau menyuburkan budaya lama menjadi semakin nyata. Sudah menjadi hal yang biasa juga jika kemajuan teknologi selalu bermata dua dan yang kerap paling tajam adalah sisi negatifnya yang memprihatinkan. Perkembangan internet pun tak bebas dari hukum tersebut. Revolusi yang dihasilkan oleh perkembangan internet tidak hanya melahirkan loncatan-loncatan positif. Internet dengan produk turunannya yang bernama jejaring sosial juga telah memunculkan dan menyuburkan sederet dampak negatif, salah satunya budaya “copy-paste”.

Sebenarnya kurang tepat menyebut “copy-paste” sebagai budaya. Budaya adalah sesuatu yang diciptakan, disepakati dan dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakat sebagai nilai-nilai yang membawa kebaikan bagi mereka. Tapi praktik plagiasi memang semakin jamak dijumpai dan dilakukan oleh banyak orang, bahkan sengaja dilakukan oleh mereka yang mengerti jika hal itu adalah sesuatu yang tidak baik. Pelanggaran hak cipta ini juga kerap dilakukan tanpa sadar dengan berbagai faktor.  Ketidaktahuan seseorang terhadap ruang lingkup dan batasan “copy-paste” juga menyebabkan praktik “copy-paste” semakin kerap dijumpai. Semua itu akhirnya membuat copy paste seakan “membudaya”.

Pratik "copy-paste" juga sudah muncul dan berkembang jauh sebelum jejaring sosial ada. Tapi “copy-paste” semakin masif dan membudaya semenjak kelahiran media jejaring sosial terutama facebook dan twitter. Bukan berarti facebook dan twitter bertanggung jawab penuh atas banyaknya pelanggaran hak cipta di internet. Tapi harus diakui di facebook dan twitter lah praktik pencurian karya lewat jalan “copy-paste” banyak dijumpai dan terlanjur dimaklumi.

Maraknya praktik “copy-paste” di facebook dan twitter karena jejaring sosial tersebut tak lepas dari sifat jejaring sosial yang membuat orang semakin mudah menulis dan semakin ingin menulis. Sementara pada dasarnya orang yang membuat akun facebook dan twitter memiliki kepentingan untuk membentuk personal branding sebaik mungkin. Hal ini selaras dengan facebook dan twitter yang memiliki kekuatan hebat sebagai media pencintraan atau image forming. Dengan demikian jalan termudah dan terbukti paling berhasil untuk pencintraan melalui facebook adalah lewat tulisan dan foto. Lewat tebaran status yang bijak, notes yang inspiratif serta foto-foto yang menarik, seseorang bisa dengan cepat menciptakan imagenya di jejaring sosial.

Facebook dan twitter membuat tulisan atau foto menyebar dengan cepat secara mudah. Di sisi lain banyak akun di twitter dan facebook yang menyediakan dan menghasilkan kata-kata indah, kalimat bijak dan foto-foto menawan, meski akun-akun tersebut mungkin juga mendapatkannya dengan cara melanggar hak cipta terlebih dahulu.

Fasilitas internet yang semakin terjangkau, fitur yang disediakan facebook dan twitter, serta didorong keinginan pengguna jejaring sosial untuk membentuk image, rantai copy-paste pun dimulai dan sukar dicegah.

Sudah menjadi hal yang lumrah sebuah foto yang sama diunduh dan diunggah kembali oleh banyak akun facebook. Demikian juga dengan kalimat-kalimat indah serupa yang muncul di timeline twitter. Memang tidak mudah membuktikan praktik copy-paste pada status facebook atau twitter karena orang bisa beralasan bahwa kalimat yang mirip dapat terbentuk secara kebetulan. Namun fakta bahwa kalimat-kalimat bijak dan foto-foto menarik diunggah berkali-kali di banyak akun adalah bukti bahwa praktik copy-paste tumbuh subur di jejaring sosial.

Copy-paste “lintas media” juga banyak terjadi ketika tulisan atau foto di twitter diunduh dan diunggah ulang di facebook demikian juga sebaliknya. Lagi-lagi semua dilakukan dengan bebas tanpa beban dengan tidak meminta izin atau menyebutkan sumber tulisan dan foto yang diunggahnya.

Hal lain yang membuat praktik copy-paste di facebook dan twitter semakin masif dan dianggap bukan sebuah pelanggaran hak cipta adalah anggapan bahwa jejaring sosial merupakan ruang publik. Dalam ruang publik tersebut apa yang seseorang tampilkan di akun miliknya, entah itu tulisan atau foto secara otomatis menjadi domain dan milik publik. Memang ada beberapa orang yang tak mempermasalahkan jika notes, status facebooknya atau kumpulan tweet manisnya dikutip langsung tanpa izin. Namun “copy-paste” dan mencuri karya tetaplah sebuah pelanggaran hak cipta sekaligus etika. Hak cipta adalah bagian dari hak kekayaan intelektual yang seharusnya otomatis dilindungi meskipun itu di jejaring sosial.

Tingginya lalu lintas di facebook dan twitter membuat jejak pencurian karya cipta tidak mudah ditemukan. Apalagi praktik copy-paste di jejaring sosial sering dilakukan secara berjamaah di mana sebuah kalimat bijak, notes indah atau foto-foto menarik bisa diambil oleh banyak orang dalam waktu yang singkat.

Jarangnya seseorang melakukan protes jika tulisan atau fotonya dicuri di facebook atau twitter ditambah anggapan bahwa jejaring sosial adalah ruang publik akhirnya membuat copy-paste yang sesungguhnya merupakan pelanggaran serius menjadi hal yang dimaklumi di facebook dan twitter. Pengguna jejaring sosial pun menjadi permisif terhadap pelanggaran hak cipta.

Praktik “copy-paste” di jejaring sosial adalah praktik  pelanggaran hak cipta yang seharusnya tak boleh dibiarkan. Berawal dari sikap permisif di facebook dan twitter inilah praktik-praktik pelanggaran hak cipta “copy-paste” semakin dianggap biasa dan menjadi kebiasaan. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin suatu saat “copy-paste” benar-benar menjadi budaya baru yang tercipta dengan cara menghancurkan budaya luhur, yakni budaya menghargai dan mengakui.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun