Saya langsung berlari ketika tak sengaja melihat satu rumpun hijau tegak berdiri di sana, di kejauhan dengan beberapa kuntum putih mekar menghiasi. Keberadaanya sangat mencolok di tengah hamparan bebatuan dan pasir yang kini melapisi tanah Kinahrejo di Lereng Selatan Gunung Merapi.
Saat berkunjung kembali ke Kinahrejo Maret lalu, diam-diam mata saya menetes ketika memasuki pintu masuk wilayah itu. Tempat itu benar-benar berubah. Tak lagi hijau lebat seperti dulu. Tak ada lagi rumah-rumah sederhana berdinding kayu beralas tanah dengan wajah-wajah penduduknya yang selalu ramah menyapa seperti ketika kami dulu melewatinya. Yang ada hanyalah ramai ratusan orang berkunjung untuk melihat bekas-bekas keramahan itu. Ratusan orang berlabel wisatawan.
Kinahrejo dan Merapi adalah tempat saya dan banyak orang meninggalkan kenangannya. Tempat di mana saya banyak belajar mengenal Anggrek Alam Indonesia.
November 2009, setahun sebelum letusan itu terjadi kami menginap di tempat ini selama 3 hari guna melakukan eksplorasi Anggrek. Saat itu saya dan teman-teman berjanji akan datang lagi untuk menjenguk mereka. Dan kenangan itu masih ada. Bayangannya ini akhirnya membuat saya menangis kecil. Kenangan bagaimana dulu kami tidur di tempat Mbah Hadi, rumah terdekat dengan Merapi yang berjarak 3,5 km dari puncaknya. Kenangan saat harus menahan dingin hingga tak bisa tidur semalam. Kenangan saat subuh harus turun ke Mushola dan menjalani sholat bersama Mbah Maridjan. Kini mbah Hadi dan mbah Maridjan telah tiada bersama wajah-wajah ramah lainnya. Bersama ribuan pepohonan dan Anggrek yang dulu selalu membuat kami berlari dan teriak ketika menemukannya. Anggrek-anggrek yang dulu entah sudah berapa kali kami catat, kami gambar dan kami potret. Anggrek-anggrek yang selalu kami sombongkan di kampus hingga seminar nasional.
Tiga tahun berlalu, 2 tahun lewat usai erupsi itu. Kinahrejo kini bagaikan kaki gunung yang telanjang. Meski banyak rerumputan mulai tumbuh kembali dan pepohonan kecil mulai bersemi, puncak dan punggung Merapi kini tak lagi tersamar dengan rimbun pepohonan hijau. Saya tak pernah melihat Merapi hingga sejelas dan segagah ini. Indah sekaligus membuat saya gentar karena gunung itu juga yang telah mengubur jutaan pepohonan, mengubur ribuan Anggrek.
Namun di sini, sekali lagi Tuhan menunjukkan kemurahannya. Tuhan meninggalkan tanda-tanda kuasaNya dengan membiarkan Anggrek ini hidup dan mekar menunjukkan kecantikkannya di tengah hamparan kering tanah dan pasir vulkanik, di antara batang dan ranting hitam yang terbakar awan panas Merapi.
Bencana erupsi Merapi yang lalu memberikan banyak pekerjaan bagi manusia untuk menjaga hutan. Jika usai letusan saja Anggrek-anggrek itu masih bisa tumbuh dan memamerkan kecantikkannya, maka pasti mereka akan lebih cantik lagi di alam yang tetap terjaga. Jangan sampai kita lalai dan membuat keindahan hutan Indonesia itu lenyap tanpa menyisakan kecantikkan Anggreknya satupun.
Sudah sepantasnya pihak-pihak yang selama ini mengaku peduli dengan hutan dan kekayaan di dalamnya menunjukkan karya nyata. Pemerintah sudah wajib memikirkan dengan sebenar-benarnya arti penting kekayaan alam Indonesia. Bukan lagi sekedar bicara mengenai idealisme yang besar. Sekecil apapun, usaha yang tepat untuk mendukung penyelamatan hutan akan sangat berguna bagi kelestarian Anggrek Indonesia dan segenap potensi lainnya.
Semoga kita tak dicap sebagai bangsa yang sekedar mempunyai kekayaan alam yang luar biasa besar namun gagal untuk mengenal dan menjaganya. Bagaimana bisa negeri yang oleh dunia dijuluki “Surga Anggrek Dunia” justru tak sanggup mengenali kekayaannya sendiri. Tuhan membiarkan kecantikan Anggrek-anggrek di Kinahrejo Merapi ini tetap terlihat sebagai tanda apa yang Dia kehendaki dari manusia agar menjaga alam.
Alam adalah rumah dan guru yang sempurna bagi manusia. Dan Merapi kembali memberikan pelajaran yang besar bagi kita semua. Merapi dengan segala kecantikan Anggreknya yang abadi. Semoga kita bisa membaca surat dari Tuhan ini.
Pemuda Indonesia, Mari Kita Kenali dan Cintai Anggrek Indonesia.
(dokumentasi Anggrek Alam Indonesia : http://muda.kompasiana.com/2012/09/06/memotret-anggrek-indonesia-di-habitat-alaminya/ )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H