Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bunda Ayik dan Inspirasi Pendidikan dari Kaki Gunung Merapi

2 Mei 2017   09:21 Diperbarui: 2 Mei 2017   09:21 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susi Farid atau Bunda Ayik, penggagas dan pendiri Rumah Belajar Kreatif Kaki Gunung Merapi (KAGEM) di Kabupaten Sleman, Yogyakarta (dok. pri).

Keramaian tampak di sebuah halaman berpagar dinding bambu dengan beberapa pondok sederhana di sudut Perumahan Mandala sore itu. Puluhan anak dan orang dewasa berkumpul melakukan kegiatan bersama. Kebanyakan dari mereka menggelar belajar kelompok. Tapi ada juga yang bermain atau hanya bercakap-cakap.

Perasaan riang dan antusias terpancar dari wajah mereka, terutama anak-anak  yang semuanya masih usia SD. Tak terlihat rasa lelah meski mereka baru pulang sekolah beberapa jam sebelumnya. Anak-anak itu seperti menemukan dunianya di Rumah Belajar Kreatif Kaki Gunung Merapi (KAGEM).

KAGEM merupakan komunitas sosial yang berlokasi di Perumahan Mandala, Jalan Kaliurang kilometer 10, Jetis Baran, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Komunitas ini digagas dan didirikan oleh seorang ibu rumah tangga bernama Susi Farid atau yang biasa disapa Bunda Ayik.

Kurangnya dukungan pendidikan anak-anak SD di sekitar tempat tinggalnya menjadi alasan utama Bunda Ayik mendirikan KAGEM pada 2012.  Anak-anak itu memang tidak putus sekolah. Tapi jika hanya mengandalkan waktu belajar di sekolah, mereka akan kurang berkembang. Pergaulan dan lingkungan bermain yang kurang terkontrol juga berpotensi membuat mereka terjebak dalam kenakalan.

Setiap hari Bunda Ayik melihat anak-anak hanya bermain seadanya. Tidak banyak kegiatan positif yang dilakukan oleh mereka setelah pulang sekolah. Di rumah anak-anak itu pun kurang mendapatkan pendampingan belajar yang cukup karena orang tua mereka rata-rata sibuk bekerja sebagai buruh, petani, dan tukang cuci.

Kapasitas para orang tua juga kurang memungkinkan untuk memberi tambahan pelajaran kepada anak-anaknya. “Orang tua mereka kesulitan menemani belajar, baik dari segi waktu maupun ilmu. Apalagi, kurikulum SD sekarang semakin rumit”, kata Bunda Ayik yang merupakan lulusan Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Yogyakarta itu.

Dari Ruang Tamu

Semua kondisi tersebut membuat hati Bunda Ayik terusik. Nalurinya sebagai seorang ibu berkata bahwa ia perlu melakukan sesuatu. Apalagi, ia pun memiliki impian membangun ruang ramah anak yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat berlajar, bermain, sekaligus bersosialisasi untuk anak-anak. Baginya anak-anak perlu mendapatkan lingkungan yang lebih baik dan nyaman untuk tumbuh dan menikmati masa kecilnya.

Salah satu sudut tempat belajar dan bermain anak-anak di KAGEM (dok. pri).
Salah satu sudut tempat belajar dan bermain anak-anak di KAGEM (dok. pri).
Pondok tempat anak-anak di KAGEM belajar bersama relawan (dok. pri).
Pondok tempat anak-anak di KAGEM belajar bersama relawan (dok. pri).
Bunda Ayik kemudian memulai inisiatif sederhana dengan menjadikan ruang tamu di rumahnya sebagai taman bacaan. Buku-buku yang disediakan adalah koleksi pribadi serta sumbangan dari teman-temannya. Melalui taman bacaan, Bunda Ayik mencoba menarik perhatian anak-anak yang setiap hari singgah dan bermain di sekitar rumahnya. Mereka bisa datang setelah pulang sekolah dan boleh membaca serta meminjam buku-buku tersebut secara gratis.

Ternyata hal itu disukai anak-anak. Setiap hari anak yang datang untuk membaca terus bertambah. Apalagi, saat itu SD tempat mereka bersekolah belum memiliki perpustakaan. Para orang tua pun tak segan mengantarkan anak-anaknya ke “ruang tamu” di rumah Bunda Ayik.

Taman bacaan Lentera di KAGEM (dok. pri).
Taman bacaan Lentera di KAGEM (dok. pri).
Dari taman bacaan di ruang tamu, inisiatif itu terus bergulir. Bunda Ayik bercerita suatu hari ia kedatangan salah satu orang tua yang meminta bantuannya untuk membimbing belajar sang anak yang masih duduk di kelas 3 SD. Ia pun menyanggupinya meski tak mendapat bayaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun