Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Takjil "Mahal" yang Datang Pukul 17.40

26 Maret 2025   18:51 Diperbarui: 26 Maret 2025   18:51 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kue putu, Rp5000 dapat 6 (dok. pribadi).

Pukul tujuh belas lewat empat puluh. Jumat sore itu saya duduk santai di ruang tamu. Sedang menunggu waktu berbuka dan sambil membuka HP menilik sebentar lini masa. Samar terdengar bunyi mendengung dari kejauhan. Bunyia dan suara yang tidak bisa tidak saya kenali. Rasanya belum ada sesuatu yang lain dengan bunyi semacam itu.

Sebentar kemudian bunyinya terdengar jelas diiringi deru mesin motor. Makin lama makin jelas bahwa saya tak salah menebak. Dengungnya membawa kepastian. Tidak salah lagi, penjual putu sedang lewat berkunjung ke blok ini.

Berjalan membuka pintu pagar, saya menengok keluar mencari di mana ia gerangan. Rupanya sudah sampai di ujung blok yang buntu dan hendak memutar. Tak perlu saya memanggilnya karena pasti akan lewat kembali ke sini. Dan keberadaan saya di depan pagar mungkin sudah dipahami oleh si pengemudi motor. Ada seorang yang menunggunya.

"Berapa, pak?". Jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya sudah saya perkirakan. Terakhir membeli putu dari seorang penjual kaki lima, sebutirnya dihargai Rp1000. Tentulah kali ini pun tak jauh berbeda. Mungkin sedikit lebih mahal karena sedang bulan Ramadan dan banyak harga mengalami kenaikan. Andai yang satu ini dijual Rp2000, saya akan menerima tanpa keberatan.

Memang putu tergolong jajanan "mahal". Bukan saja karena semakin langkanya tangan-tangan yang membuat dan menjualnya. Lebih dari itu, kandungan "kenangan" di dalamnya yang terlampau padat dan manis bagi banyak orang telah menjadikan setiap perjumpaan dengannya menjadi momen yang mahal. Bayangkan, setiap kali menikmati kue putu, saat itu pula orang akan bisa larut mengenang masa lalunya. Dan setiap kali mengenang masa lalu, siapapun akan menyadari betapa waktu telah cepat berlalu.

Penjual putu keliling dengan sepeda motor mampir menjelang berbuka puasa (dok. pribadi).
Penjual putu keliling dengan sepeda motor mampir menjelang berbuka puasa (dok. pribadi).

Bagi banyak orang, kue putu ibarat duta dari masa lalu. Meski di kota ada beberapa yang masih setia menjualnya, tidak setiap hari orang merasa ingin membelinya. Kenyataannya seringkali justru saat kemunculannya yang tak terduga, orang baru sadar merindukannya atau lebih tepatnya merindukan masa lalunya. Dan kue putu muncul sebagai utusan dari masa lalu yang dirindukan tersebut.

"Lima ribu enam", jawaban sang penjual membuat saya agak terkejut. Ternyata lebih murah dari yang saya perkirakan. 

Motor itu sudah berhenti di depan pagar. Pengendaranya beralih tempat ke belakang motor. Berganti pula perannya. Kini ia menghadap gerobak bercat hijau. Kecepatannya menyiapkan cetakan-cetakan bambu, mengisinya dengan adukan tepung, dan menyisipkan serutan gula merah ke dalamnya menunjukkan keterampilan yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Mungkin dulu saat ia masih awal belajar, tangannya belum seterampil sekarang. Masih sering membuat adonan terbuang karena jatuh bukan ke wadahnya. Atau keliru memperkirakan waktu kematangan.

Akan tetapi lihatlah sekarang. Semua dilakukannya dengan cepat seperti suatu rangkaian refleks yang sangat mudah. Dengan presisi pula ia bisa memutuskan kapan cetakan bambu sudah bisa diangkat atau dipindahkan ke lubang penguapan yang lain. Sehingga saat isi cetakan dikeluarkan, tidak ada yang tidak sempurna. Kue putu hijau dengan rekahan kecoklatan di tengah. Penampilan yang terlalu sederhana untuk rasanya yang terlalu kaya dan penuh kenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun