Setahun belakangan terjadi perubahan kecil dalam kebiasaan makan dan minum saya. Sesuatu yang berubah itu menyangkut apa yang sebaiknya saya batasi untuk dimakan dan diminum.
Setahun lalu dokter menyarankan saya untuk mengurangi meminum kopi. Sebenarnya itu lebih berupa anjuran, bukan larangan. Dokter hanya meminta saya untuk mencermati kondisi lambung saya yang sangat peka terhadap kafein. Buktinya sudah saya rasakan sendiri. Sedikit kopi sudah bisa membuat lambung saya bergejolak secara "ugal-ugalan".
Anjuran itu saya patuhi. Bahkan, dengan kesadaran sendiri saya memilih jalan lebih "ekstrem". Saya berhenti meminum kopi sama sekali. Segala jenis minuman kopi, baik kopi hitam, kopi susu, es kopi, dan sebagainya yang mengandung kopi saya jauhi. Terhitung sejak Agustus 2023 hingga sekarang saya tak lagi mencecap kopi. Artinya, sudah selama setahun lidah saya nyaris lupa rasanya kopi.
Bagi saya tidak sulit untuk meninggalkan kopi. Sebab pada dasarnya dari dulu saya lebih menyukai teh. Maka ketika berhenti minum kopi, saya tetap bisa menikmati seduhan teh hijau tanpa gula yang menjadi kegemaran.
Lain halnya dengan anjuran kedua yang diberikan dokter. Yakni, agar saya membatasi dan kalau perlu menghindari makanan yang terlampau pedas. Memang soal pedas cenderung subyektif sifatnya karena lidah setiap orang memiliki toleransi dan penerimaan yang berbeda tentang rasa pedas. Bagi sebagian orang sepuluh cabe masih tergolong ringan. Namun, sebagian yang lain menerima sepuluh cabe dengan sensasi kepedasan yang amat kuat. Sedangkan bagi saya, tiga cabe sudah tergolong pedas sekali.
Maka dari itu ketika dokter mewanti-wanti saya untuk mengurangi makanan pedas, agak berat hati saya menjaga jarak dengan ayam geprek yang selama ini jadi salah satu makanan kesukaan. Semakin jarang saya membeli ayam geprek. Sebab saya tahu jika memesan ayam geprek dengan hanya dua cabe, pada dasarnya ayam yang akan saya dapatkan memiliki tingkat kepedasan yang lebih dari itu karena cobek untuk menggeprek ayam sudah terlumuri sisa ulekan cabe pembeli-pembeli sebelumnya.
Begitu pula kalau mendapatkan lauk sayuran yang agak pedas di warung makan. Meski kadang penjualnya mengatakan sayurnya tidak pedas, makna "tidak pedas" menurut mereka berbeda dengan "tidak pedas" yang saya harapkan. Hanya di beberapa warung atau tempat makan langganan saya bisa menerima standar pedasnya.
Membatasi makanan pedas juga membuat dilema karena saya gemar menikmati rujak atau lotis buah, gado-gado, lotek dan pecel. Kesukaan saya pada buah dan sayuran sudah dimulai sejak kecil.