Sepanjang usia hingga hari ini ada satu mata kuliah kehidupan yang masih harus saya tempuh untuk bisa lulus dengan baik. Entah sudah berapa lama saya mencoba menyelesaikannya. Mungkin sejak lahir atau sejak kematangan usia membuat saya mulai bisa menakar perasaan serta harga diri.Â
Berbagai peristiwa dan kejadian telah menjadi "kelas pelajaran " yang terus menempa. Namun, belum juga saya lulus dari ujiannya secara bijaksana.Â
Nilai saya untuk mata kuliah kehidupan yang satu ini masih menyisakan catatan-catatan. Tanda bahwa saya belum tuntas sepenuhnya. Belum mencapai taraf lulus dengan memuaskan.
Saya menyukai semboyan bijaksana yang berbunyi: "setiap orang punya salah, maka semestinya setiap orang juga punya maaf". Juga meyakini bahwa memberi maaf pada dasarnya memberi makan kebaikan pada tubuh dan jiwa. Itu terdengar penuh kedamaian. Siapa yang tak ingin memiliki kualitas kebijaksaan seperti demikian?
Ajaran agama juga memberi tuntunan perihal memaafkan. Bahwa memaafkan merupakan ladang pahala. Apalagi jika kita memberi maaf kepada orang lain sebelum orang itu meminta maaf.
Akan tetapi ada hal-hal di dunia ini yang mengucapkannya lebih mudah dibanding mempraktikkannya. Meski buku "Keajaiban Memaafkan" telah menjadi best seller yang dibaca oleh jutaan orang, belum tentu semua pembacanya bisa segera mewarisi dan mempraktikan kebijaksanaan serupa.
Seminar-seminar pengelolaan emosi telah memberi banyak kiat melapangkan hati agar mudah memaafkan. Para motivator juga telah membikin mantra cara mencintai kegagalan dan memaafkan kesalahan. Namun, manusia tidak bisa diseragamkan.Â
Semua kembali kepada diri masing-masing. Sebab setiap orang mengalami peristiwa yang berbeda satu sama lain. Rasanya tidak pernah ada dua orang yang kejatuhan satu buah mangga yang sama di atas kepala masing-masing lalu merasakan sakit yang sama karena buah mangga itu terbelah jadi dua sama besarnya.
Kejadian yang menimpa manusia bersifat personal dan unik. Seseorang yang pernah tersiram air panas pada bagian kulit tangannya bisa memberi nasihat dan penghiburan kepada temannya yang baru tersiram air panas. Katanya: "Nggak papa, sakitnya cuma sebentar itu. Dulu saya nggak sampai seminggu sudah kering".Â
Padahal temannya memiliki jenis kulit yang berbeda darinya. Lebih sensitif dan punya alergi tertentu. Bagian yang tersiram juga lebih lebar. Panasnya air pun lebih mendidih. Kemungkinan besar lukanya akan lebih lama mengering dan bisa meninggalkan bekas yang lama menetap di kulit.Â