Dari sejumlah buku Nh. Dini yang saya punyai, "Sebuah Lorong di Kotaku" jadi salah satu yang teristimewa. Berulang kali membukanya, tak bosan saya dengan ceritanya.
Bukunya tipis, tapi Nh. Dini menumpahkan setumpuk kenangan dan wawasan kehidupan di sana. Kalimat-kalimat dalam buku itu sangat "hidup". Membacanya seperti Nh. Dini hadir di depan mata menceritakan langsung kenangan masa kecilnya.
Buku ini pula yang sering saya dengar ketika bertemu atau berkenalan dengan sesama penggemar Nh. Dini. Misalnya, sekitar dua minggu lalu saya mengenal Mba Nafi, seorang ibu rumah tangga asal Bantul.Â
Saya takjub karena begitu banyak judul Nh. Dini yang sudah ia baca. Jika saya baru mulai membaca Nh. Dini saat SMA, maka mba Nafi sudah khatam cerita-cerita Nh. Sejak bangku sekolah dasar.
Perkenalan Mba Nafi dengan karya-karya Nh. Dini diawali oleh "Sebuah Lorong di Kotaku". Dari judul itu kegemarannya pada Nh. Dini tumbuh dan terpelihara hingga sekarang. Dari banyak buku Nh. Dini yang ia baca, "Sebuah Lorong di Kotaku" paling membekas di benaknya.Â
Saya bisa memahaminya. "Sebuah Lorong di Kotaku" memang gerbang pembuka yang mudah membuat orang jatuh cinta pada karya-karya Nh. Dini. Itu pun saya alami.Â
"Sebuah Lorong di Kotaku" bukan judul Nh. Dini yang pertama saya baca. Bukan pula buku pertama Nh. Dini yang saya beli. Tapi, petualangan menjelajah kedalaman cerita-cerita Nh. Dini bermula semenjak saya selesai dengan "Sebuah Lorong di Kotaku".
Perlu diketahui sejak pertama kali terbit pada 1986, buku ini sudah dicetak ulang belasan kali. Saya memiliki edisi tahun 1990, 2002, dan 2009.Â
Dari ketiganya, buku cetakan 1990 paling istimewa. Kertasnya yang sudah tua berwarna kecoklatan mengeluarkan aroma khas yang menyengat. Nuansa klasik dan lawas sangat pas membungkus isi cerita kenangan di dalamnya.
Bersyukur saya mendapatkan buku lawas ini dengan kondisi yang masih lumayan bagus. Bahkan, saya dilimpahi keberuntungan besar karena di dalam bukunya telah tergores tanda tangan Nh. Dini.