Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Rakyat Wajib Bayar Pajak, Pejabat Pajak Wajib Kaya

25 Februari 2023   09:27 Diperbarui: 25 Februari 2023   09:39 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Whatsapp dari kantor pajak saya dapatkan Januari lalu (dok.pribadi).

Menjadi warga negara Indonesia sepertinya ditakdirkan pula untuk sering overthinking. Sebab banyak hal di negeri ini terlalu mengusik pikiran dan perasaan. Berbagai kejadian, tak peduli besar atau kecil, meskipun belum tentu kita yang melakukan, entah mengapa sering menjadi beban yang mesti kita tanggung dan pikirkan bersama sebagai warga biasa.

Baru kita menghirup sedikit nafas lega seusai persidangan tingkat pertama Ferdy Sambo  berakhir dengan vonis berat, kini kita disuguhkan lagi sebuah peristiwa menggemparkan yang menyeret lagi seorang nama pejabat.

Tentu saja hanya sebuah kebetulan bahwa nama sang pejabat mengandung unsur "sambo". Dari Ferdy Sambo ke Rafael Trisambodo.

Walau demikian ini bukan tentang perbandingan keduanya. Saya hanya ingin bercerita bahwa pada 27 Januari 2023 yang lalu, sebuah amplop coklat saya dapatkan di atas meja di antara beberapa buku yang tak terlalu rapi saya atur.

Melihat rangkaian huruf yang membentuk label amplop surat itu, pikiran saya dibuat penasaran. Tulisan "KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, DIREKTORAT JENDERAL PAJAK, KANTOR WILAYAH DIREKTORAT......" yang tercetak besar membuat saya sedikit deg-degan.

Sependek ingatan saya, terakhir kali mendapat surat semacam itu lamanya sudah beberapa tahun silam. Ketika itu saya mendapat imbauan untuk melaporkan SPT Tahunan.

Imbauan itu membuat perasaan saya campur aduk. Sebab saya  telah melaporkan SPT. Yakin tak terlambat dan sudah melaporkannya sesuai ketentuan. Untungnya pada bagian akhir surat tertulis bahwa wajib pajak bisa mengabaikan imbauan dan surat itu jika sudah melaporkan SPT.

Semenjak itu saya tak  lagi mendapat surat dari kantor pajak. Entah tidak pernah dikirimi atau sebenarnya selalu ada surat itu setiap tahun tapi tak terhantar ke tangan saya.

Meski demikian, kewajiban pelaporan SPT tetap saya tunaikan. Kadang pada awal periode, kadang pula mendekati deadline. Sampai kemudian datang lagi sepucuk amplop cokelat dari kantor pajak pada Januari lalu.

Ternyata ada 2 lembar surat di dalamnya. Lembar pertama serupa isinya dengan yang dulu pernah saya dapatkan. Terkait imbauan pelaporan SPT dan boleh diabaikan jika sudah melapor. Lembar kedua semacam pemberitahuan bahwa mulai 1 Januari 2024, NPWP digantikan dengan NIK.

Dua lembar surat itu saya masukkan kembali ke amplop. Saya sisipkan pada kantong laptop di dalam tas dan tidak ada yang perlu dicemaskan.

Namun, beberapa jam kemudian giliran HP saya yang memicu overthinking. Sebuah pesan whatsapp dari kantor pajak tiba-tiba menyapa.  Dengan hidmat saya cermati setiap kalimatnya. Bahkan ketika sudah sampai di ujung pesan saya sempatkan lagi membaca ulang khawatir ada hal penting dan mendesak yang terlewatkan.

Setelah saya cerna, isi whatsapp tersebut senada dengan isi surat yang saya dapatkan pagi harinya. Berupa imbauan pelaporan SPT dan informasi penerapan NIK sebagai pengganti NPWP mulai tahun depan.

Surat dan pesan whatsapp dari kantor pajak yang saya dapatkan secara beruntun hari itu telah menjadi bahan overthingking. Meski hanya berlangsung sesaat, tapi perasaan dan pikiran saya sempat tersita untuk memikirkannya.

Apa kantor pajak tak percaya kalau saya merupakan wajib pajak yang taat. Lagipula apa yang perlu dikhawatirkan dari profil wajib pajak seperti saya yang masuk dalam kasta biasa-biasa saja. Jangankan merekayasa pajak, mengingat password DJP online pun saya sulit sehingga setiap tahun terpaksa mengatur ulang. Itu pun masih harus membongkar arsip untuk menemukan catatan berisi EFIN yang saya simpan semaunya.

Selain itu, apa tidak bisa kantor pajak hanya mengirim imbauan lewat whatsapp? Berapa banyak sampah kertas dan limbah digital dihasilkan jika semua wajib pajak dikirimi surat dan whatsapp sekaligus?

Selain whatsapp, saya juga dikirimi surat imbauan pelaporan SPT Tahunan (dok.pribadi).
Selain whatsapp, saya juga dikirimi surat imbauan pelaporan SPT Tahunan (dok.pribadi).

Agak mengganggu juga jika surat imbauan hanya dikirim secara acak ke wajib pajak tertentu. Sebab itu bisa menimbulkan ghibah. Bayangkan di sebuah acara makan siang rutin, beberapa orang sambil mengunyah membicarakan koleganya. "Eh, tadi Bambang dapat surat dari kantor pajak. Kayanya sih surat penting. Tapi kok aku nggak dapet yah?".

Lantas disahut oleh tandem makan siangnya. "Iya, aku juga nggak dapet. Mungkin dia nggak pernah lapor SPT kali. Ditagih denda jadinya".

Siapa bisa menjamin tak ada ghibah semacam itu di antara kita? Memang ghibah bisa mengurangi dosa bagi orang yang dighibahi. Tapi siapa yang senang dighibahi?

Lantas sekarang saya jadi overthinking lagi. Bertanya kira-kira pejabat pajak seperti Pak Trisambodo apakah juga selalu dikirimi surat dan whatsapp oleh kantor pajak?

Lebih mengusik lagi ialah, bagaimana perasaan pejabat pajak seperti Pak Trisambodo jika menerima surat dari kantor pajak?

Apakah deg-degan seperti saya dan masyarakat pada umumnya? Ataukah pejabat pajak sudah sangat terlatih untuk bersikap biasa saja jika mendapat surat dari kantor pajak? Apakah mereka sudah terbiasa untuk berlaku tenang dan tidak overthinking jika dihubungi orang pajak?

Jika rakyat biasa selalu was-was jika terlambat bayar pajak sepeda motor yang harganya cuma belasan juta, apakah pejabat pajak juga merasakan hal yang sama jika menunggak pajak kendaraan mewahnya?

Jika kita masyarakat biasa takut berkendara dengan sepeda motor jelek yang pajaknya terlambat, apakah keluarga pejabat pajak yang khilaf tidak membayar pajak kendaraan mewahnya juga overthinking saat melaju di jalanan?

Kalau polisi galak pada masyarakat yang ketahuan menggunakan plat kendaraan palsu, apakah pejabat pajak merasakan ketakutan yang sama saat mengendari mobil dan motor mewah dengan plat abal-abal?

Kalau kita orang biasa sering merasa bersalah jika menutupi-nutupi harta yang tidak seberapa besarnya, apakah pejabat pajak juga merasa cemas dan berdosa saat menutupi sebagian hartanya yang tidak dilaporkan?

Agaknya kita masyarakat biasa perlu belajar dari para pejabat pajak tentang bagaimana bersikap tenang jika menerima surat dari kantor pajak. Perlu pula belajar untuk berlaku santai saat mengendarai motor dan mobil di jalanan meski kendaraan kita menunggak pajak.

Jangan-jangan ada ada prinsip yang belum kita ketahui selama ini di Indonesia bahwa rakyat wajib bayar pajak, sementara pejabat pajak wajib kaya.

Akhir pekan yang agak berat. Ingin santai bersepeda malah overthinking soal pajak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun