Dan terjadi lagi...
Saya kira hanya pejabat feodal dan kaum elit tinggi hati yang gemar mengintimidasi. Saya kira juga setelah Garuda Indonesia dan Eiger bertobat, tidak akan muncul lagi kekonyolan serupa.
Namun, perkiraan tersebut ternyata salah. Perilaku antikritik di negeri ini ternyata sudah sangat meluas. Sehingga penjual es teh pun bisa mensomasi pembelinya yang tidak sepakat tentang rasa.
Memberi ulasan kurang baik terhadap minuman teh yang dijual dianggap melanggar undang-undang. Artinya semua pembeli harus memberi ulasan baik tentang es teh yang diminum. Lidah semua orang dipaksa untuk menyepakati satu rasa. Indera pengecap dipaksa untuk berkata yang seragam tentang manis atau tidaknya es teh.
Pokoknya penjual es teh sudah menyajikan yang terbaik. Berani bilang kemanisan, kepahitan, terlalu encer, dan sebagainya sama artinya dengan menyebarkan keburukan. Maka gara-gara minum es teh, orang kini bisa dihukum dan dipenjara.
Mau bilang aneh dan konyol, tapi inilah Indonesia sekarang. Mau minum es teh saja sudah tidak bebas lagi. Dan bila demikian adanya, barangkali es teh yang dijual itu tidak layak disebut minuman. Melainkan segelas racun yang sebaiknya tidak diminum.
Apakah sudah saatnya setiap orang di Indonesia harus membuat minuman tehnya sendiri?
Sebagai penikmat teh, itu sudah sering saya lakukan. Menyeduh teh panas dan membuat es teh dengan racikan tangan sendiri. Menggunakan daun teh yang disenangi. Menakar gula yang sesuai selera. Lalu meminumnya kapan saja saat sedang menginginkannya.
Saya meniru dari resep Pak Min, penjual angkringan dekat kampus UGM yang selama bertahun-tahun menjadi salah satu tempat jajan langganan saya. Namun, tidak seratus persen saya menirunya. Sebab lidah saya dengan lidah Pak Min, juga dengan lidah orang lain tidak sama.