Yogyakarta mempertemukan saya dengan Pak Dodik. Seorang difabel berperawakan kecil, tapi semangatnya untuk bekerja besar.
Kaki palsunya menjadi saksi setiap langkah yang tak kenal lelah. Setiap hari ia mengayuh sepeda berkeliling kawasan kampus UGM dan sekitarnya untuk menawarkan jasa.
Pada tahun 2003, Pak Dodik yang bekerja sebagai sopir truk mengalami kecelakaan di Klaten, Jawa Tengah. Akibatnya ia kehilangan kaki kiri. Bukan itu saja, ia pun diberhentikan dari pekerjaannya.
Kondisi tersebut membuat hidup Pak Dodik berubah. Tanpa sumber penghasilan, ia dan keluarga harus susah payah memenuhi kebutuhan.
Pak Dodik telah berulang kali melamar pekerjaan. Namun, penolakan selalu ia terima. Menggunakan kaki palsu membuatnya dipandang sebelah mata dan dianggap tidak mampu bekerja.
Memperbaiki sepatu dan sandal akhirnya ia pilih sebagai pekerjaan. Namun, tak banyak rupiah yang didapat karena sudah jarang masyarakat yang menggunakan jasa reparasi sepatu. Oleh karena itu, kini Pak Dodik bersedia menerima pekerjaan apa saja. Antara lain membantu membersihkan rumah kos, mencuci kendaraan, dan memperbaiki kompor. Semua dilakukan demi mendapat penghasilan.
Kesempatan Kerja Difabel
Pak Dodik merupakan bagian dari masyarakat difabel di Indonesia yang menurut Badan Pusat Statistik pada 2020 jumlahnya sekitar 22,5 juta. Ia juga potret difabel yang harus jatuh bangun memperjuangkan kesejahteraan.
Secara umum tingkat kesejahteraan difabel di Indonesia memang masih rendah dibanding warga nondifabel. Banyak di antara mereka kesulitan mencukupi kebutuhan dasar.
Ketidakberdayaan itu bukan sepenuhnya karena mereka "tidak bisa". Bukan semata karena keterbatasan struktur dan fungsi tubuh. Melainkan karena sempitnya akses ekonomi dan kesempatan kerja.