"Jangan lupa healing, bestie..."
Mendadak saya merasa butuh membaca lagi sebuah buku yang salah satu pokok bahasannya menerangkan tentang trauma healing. Meski buku tersebut membahas trauma healing dalam penanganan bencana, tapi menyinggung pula healing secara umum.
Dari situ saya pahami bahwa healing merupakan proses penyembuhan atau pemulihan akibat trauma, kecamuk mental, dan luka-luka batin.
Kata kuncinya ialah proses penyembuhan. Proses sudah pasti butuh waktu. Bisa lama, bisa pula sebentar. Andai sebentar pun yang namanya proses pasti tidak instan. Sedangkan penyembuhan merupakan serangkaian perlakuan yang prosedurnya tidak sembarangan dan bukan serampangan.
Begitulah arti healing yang selama ini saya pahami. Sampai kemudian saya menjadi ragu dengan pemahaman saya. Jangan-jangan saya keliru. Lalu memeriksa lagi makna healing dari bacaan tentang trauma healing.
Hasilnya saya justru dilingkupi berbagai pertanyaan. Apakah healing yang saya pahami masih sama dengan istilah healing yang sekarang sedang ngetren? Ataukah arus budaya pop telah menggeser makna healing dan menjadikannya sebagai tren baru? Apakah ada dua healing yang berbeda?
Healing menjadi tren?? Bagaimana bisa??
Entahlah. Yang jelas saat ini healing muncul dalam banyak konten dan unggahan media sosial dari orang-orang yang sedang bergembira menikmati traveling, shopping, dan nongkrong di tempat-tempat kekinian.
Orang-orang sedang gandrung dengan healing. Bahkan, aktivitas kuliner pun dilabeli "healing". Terasa aneh, lucu, sekaligus agak lebay ketika promosi kuliner di media sosial dibubuhi narasi seperti: "tempat makan baru, cocok buat healing nih..".
Sama anehnya ketika berlimpah unggahan di instagram yang bunyinya: "sudah healing belum, bestie??", "jangan lupa healing, bestie...", "sempatkan healing ya..", dan seterusnya.