Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mason Greenwood, Oki Setiana Dewi, dan Normalisasi Kekerasan dengan Selimut Agama

5 Februari 2022   10:58 Diperbarui: 5 Februari 2022   11:01 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mason Greenwood (foto: AP Photo).

Ketika negara yang dikenal relijius dan menjunjung peri kemanusiaan, tapi masyarakatnya memaklumi kekerasan. 

Pelan-pelan puncak gunung es itu terlihat mulai mencair. Korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan KDRT, semakin berani membuka suara. Sambil berusaha menahan rasa getir dan trauma, satu per satu korban muncul untuk menuntut keadilan.

Berbagai cara ditempuh. Lewat pengakuan langsung, baik melalui media sosial maupun pelaporan ke polisi.

Semakin banyak pula peristiwa kekerasan yang diusut aparat. Bukan hanya peristiwa kekerasan yang baru saja terjadi, tapi juga kejadian yang telah lewat beberapa tahun lampau juga dibuka.

Walau demikian upaya menuntut keadilan bagi korban kekerasan di Indonesia masih kerap membentur tembok tebal dan jalan berliku. Terutama jika pelakunya merupakan sosok yang punya pengaruh atau orang penting yang ditokohkan di tengah masyarakat. Hukum dan perangkatnya kadang lemah jika berhadapan dengan kondisi demikian.

Sering pula penegakan hukum baru terlihat jelas dan tegas jika peristiwanya telah viral. Dalam hal ini jalur "pengadilan media sosial" mampu menggerakan jalur pengadilan formal sehingga keadilan bagi korban bisa diupayakan.

Sayangnya pada banyak kejadian terlihat masalah lain. Yakni, kecenderungan masyarakat untuk menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang normal dan wajar. Kekerasan dalam rumah tangga dianggap wajar sebagai konsekuensi kehidupan suami istri. Atau kekerasan guru kepada murid sebaiknya dimaklumi sebagai cara pembentukan karakter.

Budaya dan karakter "pemaaf" yang tumbuh di tengah masyarakat Indonesia disadari atau tidak telah menormalisasi kekerasan sebagai hal yang bisa dimaklumi. Dengan alasan "urusan pribadi", "khilaf, "untuk mendidik" atau "baru pertama kali" maka kekerasan bisa diampuni. Lalu ketika peristiwanya berulang, alasan lain akan dicari-cari. Sampai akhirnya berusaha ditutupi.


Di sisi lain, upaya mengungkap kekerasan justru sering membuat korban bertambah sial. Sedangkan sang pelaku bebas dari sanksi sosial.

Korban kekerasan di Indonesia juga sering mendapatkan "pukulan susulan" yang menambah rasa trauma. Bermaksud mengungkap kebenaran dan menuntut keadilan, korban kekerasan malah mendapat olok-olok dan stigma. Sering kita jumpai jika korbannya seorang perempuan, beragam tanggapan miring bermunculan. Korban justru disalahkan dengan alasan "tak pandai menjaga diri", "salah sendiri", "berpakaian terlalu seksi" dan lain sebagainya. Ironisnya tak jarang komentar dan pandangan yang kurang simpatik tersebut datang dari sesama perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun