Srimulat tidak hanya melahirkan dan mewariskan kelucuan. Tak hanya membuat tertawa jutaan orang. Pasang surut dan proses berkarya yang dijalani oleh Srimulat selama puluhan tahun juga meliputi beberapa sisi "serius" yang tidak lucu, bahkan cenderung menegangkan.
Membaca artikel Kompasianer Yuli Anita tentang Srimulat membuat saya ikut tersenyum. Sebab saya pun menggemari Srimulat. Saya juga sepakat bahwa kerja sama dan kekuatan karakter merupakan keunggulan Srimulat.
Jelas Srimulat sangat mengandalkan kerja sama. Sebab personel mereka banyak sekali. Srimulat adalah kelompok kesenian yang menjelma sebagai grup lawak dengan member paling banyak dalam sejarah panggung kesenian Indonesia.
Pada masa jayanya anggota Srimulat mencapai 100 orang. Bahkan, sepanjang  sejarahnya dari awal berdiri sebagai kelompok kesenian hingga menjadi grup lawak era industri TV, tercatat ada 1500 nama yang pernah menjadi bagian dari Srimulat. Kalau bukan karena kerja sama, tidak mungkin mereka menjadi besar dan bertahan begitu lama.
Kerja sama tersebut ditopang oleh keunikan dan kekuatan para personelnya. Maka Srimulat menjadi grup yang sangat berkarakter. Originalitas lawakan mereka sulit ditiru, apalagi disaingi. Malah diakui bahwa Srimulat telah melahirkan genre dan formula humor sendiri yang oleh banyak orang disebut "lawakan gaya Srimulat".
Srimulat meraih kebesarannya sebagai grup kesenian di Solo. Mereka tetap berkibar ketika hijrah ke Surabaya. Srimulat lalu memasuki era industri TV yang menjadikan mereka sebagai kelompok humor skala nasional yang sangat terkenal. Srimulat pernah mengikat kontrak dengan stasiun TV di Jakarta untuk waktu yang lama. Srimulat pun beberapa kali mengalami penyesuaian nama panggung. Pada awal berdiri di Solo mereka mengusung nama Gema Malam Srimulat. Lalu berganti menjadi Aneka Ria Srimulat. Sempat memakai nama Srimulat Review, tapi kembali berubah menjadi Aneka Ria Srimulat.
***
Saya menyukai Srimulat sejak kecil. Layar TV menjadi medium saya menyaksikan grup ini. Artinya generasi Srimulat yang saya tahu merupakan generasi ketika Srimulat sudah memasuki industri TV.
Keluarga besar kami yang banyak berasal dari Klaten, Solo, dan Jawa Timur membuat saya terpengaruh dan akhirnya menyukai Srimulat. Apalagi saat mudik dan berkumpul di Klaten, tontonan Srimulat menjadi suguhan wajib di rumah kakek. Waktu itu Srimulat tayang berulang kali sepanjang hari selama libur lebaran. Nonton bersama menjadi salah satu kegiatan utama kami ketika berkumpul.
Barangkali karena pendiri Srimulat, yakni Raden Ayu Srimulat lahir di Klaten sehingga  kami menyenangi grup lawak ini. Semacam ada ikatan batin atau kebanggaan sebagai sesama orang berdarah Klaten.
Punya Koneksi Intelijen
Srimulat layak disebut sebagai salah satu ikon terbesar dalam sejarah panggung seni dan budaya pertunjukkan di Indonesia. Mereka adalah grup lawak terbesar, terlama, dan terlucu di Indonesia.
Namun, Srimulat tidak hanya melahirkan dan mewariskan kelucuan. Tak hanya membuat tertawa jutaan orang. Jatuh bangun, pasang surut, dan proses berkarya yang dijalani oleh Srimulat selama puluhan tahun juga meliputi beberapa sisi "serius" yang tidak lucu, bahkan cenderung menegangkan.
RA Srimulat, pendiri sekaligus tokoh kunci Srimulat merupakan seniman berbakat sejak remaja. Sebagai orang yang hidup masa perjuangan kemerdekaan, Ibu Srimulat memiliki keberanian untuk melawan kesulitan-kesulitan. Ia ikut berperan dalam perjuangan bangsa dengan menjalin "pertemanan" dengan militer Indonesia.
Sempat muncul dugaan bahwa Ibu Srimulat seorang agen intelijen. Apalagi pada akhir 1990-an, Jujuk Srimulat diberitahu oleh seseorang yang datang membawa dokumen berisi daftar orang-orang yang bekerja sama dengan militer semasa perang kemerdekaan. Dalam daftar itu terdapat nama RA Srimulat.
Meski dugaan bahwa Ibu Srimulat merupakan agen intelijen belum dipastikan, tapi kedekatannya dengan sejumlah petinggi intelijen militer Indonesia pada masa kemerdekaan benar adanya. Ia sering terlibat dalam pertemuan yang dihadiri oleh tentara untuk membahas masalah politik dan keamanan negara.
Selain itu RA Srimulat  yang kerap menggelar pertunjukkan di daerah-daerah berbahaya  beberapa kali bertemu dengan kelompok pemberontak. Keberadaan pemberontak tersebut oleh Srimulat kemudian dikabarkan kepada militer Indonesia.
Melawan PKI
Periode 1960-an menjadi salah satu periode genting yang dialami oleh Srimulat yang masih bermarkas di Solo. Pengaruh Partai Komunis Indonesia sedang kuat pada masa itu. PKI juga sedang gencar melakukan pendekatan dan propaganda untuk menarik lebih banyak massa pendukung. Salah satu caranya ialah memaksa kelompok-kelompok kesenian untuk bergabung dalam LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat).
Srimulat yang ketika itu telah menjadi grup besar diincar oleh PKI dengan harapan pengaruh Srimulat bisa memperlancar propaganda PKI. Namun, RA Srimulat dan suaminya Teguh Rahardjo menolak untuk membawa gerbong Srimulat ke dalam LEKRA. Hal itu membuat PKI tidak senang dan berbalik melakukan intimidasi terhadap Srimulat.
Srimulat tetap bertahan pada idealismenya. Srimulat tidak menghendaki ada campur tangan politik dalam kesenian yang mereka geluti. Srimulat tak ingin diperalat oleh PKI.
Di sinilah koneksi Srimulat dengan militer Indonesia mendatangkan manfaat. Untuk menghindari rongrongan PKI beberapa kali pertunjukkan Srimulat dijaga oleh tentara. Di tengah keselamatan mereka yang terancam, personel Srimulat terus menghibur masyarakat.
Kedekatan Srimulat dengan militer juga mendatangkan berkah  yang  sangat menentukan eksistensi Srimulat. Menjelang pecahnya peristiwa G30S-PKI, RA Srimulat mendapatkan informasi akan adanya kegentingan. Ia pun memutuskan memboyong para seniman Srimulat untuk hijrah ke Surabaya.
Keputusan tersebut terbukti tepat dan cerdas. Sebab Peristiwa G30S-PKI ternyata merembet sampai ke Solo. Banyak seniman ikut tewas. Mereka yang dianggap terlibat PKI menjadi sasaran pembantaian massal.
Beruntung Srimulat telah hijrah lebih dulu ke Surabaya. Beruntung pula sejak awal Srimulat teguh pada idealismenya untuk tidak terjebak dalam permainan politik PKI. Keberanian Srimulat menolak bergabung dengan LEKRA tidak hanya membuat mereka selamat dari tragedi berdarah, tapi akhirnya juga mengantar Srimulat menjadi salah satu pencetak sejarah.
Terlucu sudah pasti. Srimulat juga gigih, cerdas, dan berani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H