Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kangen Pasar Ramadan Kauman Jogja, Kangen "Kicak" yang Legendaris dan Manis

16 April 2021   12:56 Diperbarui: 16 April 2021   13:39 1446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar Ramadan Kauman Jogja |dok. pribadi.

Tempat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pasar tiban atau pasar dadakan lainnya yang biasa muncul saat bulan Ramadan. Itu sebabnya dulu saat pertama kali mendengar keberadaannya saya tidak langsung penasaran untuk melongok ke sana. Sebab di Yogyakarta pun ada banyak pasar serupa yang menjadi tempat pilihan masyarakat berburu kudapan dan hidangan berbuka.

Namun, Pasar Ramadan Kauman memang punya kekhasan sendiri. Disebut Pasar Ramadan Kauman karena lokasinya di Kampung Kauman, kawasan alim penuh sejarah yang terletak di ruas Jalan Ahmad Dahlan Kota Yogyakarta.

Dari segi lokasinya yang hanya berjarak 100 meter dari jantung Malioboro dan Nol Kilometer Yogyakarta sudah segera diketahui daya tariknya. Ditambah menurut cerita masyarakat setempat, Pasar Ramadan Kauman sudah muncul sejak tahun 1973. Maka wajar jika masyarakat seantero Yogyakarta paham keberadaannya. Sementara bagi wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta saat bulan Ramadan, pasar ini jadi destinasi tambahan selagi menikmati suasana romantis Malioboro.

Suasana Pasar Ramadan Kauman Jogja| dok. pribadi.
Suasana Pasar Ramadan Kauman Jogja| dok. pribadi.
Pertama kali datang ke Pasar Ramadan Kauman pada 2013, saya  telah beberapa kali mengulang ngabuburit di sana pada kesempatan-kesempatan Ramadan berikutnya. Entah apa pemicu utama yang mendorong saya untuk datang lagi. Padahal kebanyakan jajanan dan makanan yang dijual juga ditemui di pasar ramadan yang lebih dekat. Dari segi harga pun tergolong menengah. Tidak terlalu mahal, tapi ada yang lebih murah di tempat lain.

Mungkin karena faktor sejarahnya tadi. Mungkin pula karena keseruan menyusuri lorong-lorong di tengah rumah-rumah berdinding tua yang membuat saya menikmati saat berjalan di Pasar Ramadan Kauman.

Di lorong gang yang lebarnya hanya sekitar 2 meter itu puluhan penjual berderet menawarkan kudapan serta hidangan penuh selera mulai pukul 15.00. Kebanyakan menjajakan makanan kecil untuk takjil seperti aneka kua dan jajan pasar. Pecel, bakmi dan berbagai jenis sayur siap santap juga bisa dibeli di sini.

Sebagian besar penjual merupakan warga setempat sehingga meski banyak yang menyajikan jajanan serupa, tapi tidak terlalu tampak aroma persaingan di antara mereka. Bahkan, sambil melayani atau menunggu pembeli, mereka tak jarang saling melempar ujaran penuh canda dalam bahasa Jawa.

Hal menarik lainnya ialah banyak penjual yang saling membantu melariskan satu sama lain. Caranya ialah dengan menampung takjil atau makanan buatan penjual lainnya. Misalnya, jika ada seorang penjual yang membuat kolak dalam jumlah banyak, maka sebagian kolak itu akan dititipkan pada penjual lain di lapak yang berdekatan. Sang pembuat kolak diuntungkan karena dibantu penjualannya. Sementara penjual yang menampung juga diuntungkan karena isi mejanya bertambah. Semakin penuh dan bervariasi takjil yang dijual di atas meja, akan semakin menarik minat pengunjung untuk mampir.

Pasar Ramadan Kauman Jogja |dok. pribadi.
Pasar Ramadan Kauman Jogja |dok. pribadi.
Selain aneka makanan dan jajanan yang sudah lazim ditemui, ada satu jajanan takjil yang khas dan legendaris di sini. Namanya Kicak. Bentuk dan rasanya seunik namanya. Terbuat dari dari jadah atau ketan yang dicampur gula pasir, lalu diberi toping nangka, parutan kelapa dan hiasan daun pandan.

Pertama kali mencicipinya saya langsung suka. Lembut, kenyal, manis dan wangi. Begitulah sederet rasa Kicak yang bisa dicecap dalam setiap gigitan.

Cerita turun temurun di Kauman menyebut bahwa Kicak terlahir dari tangan seorang warga bernama Mbah Wono pada tahun 1950. Oleh karena rasanya yang nikmat dan wujudnya yang berbeda dari olahan ketan maupun jajan takjil lainnya pada waktu itu, Kicak buatan Mbah Wono segera disukai banyak orang. Uniknya, meski disukai banyak orang, Mbah Wono hanya membuatnya saat Ramadan tiba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun