Salah satu elemen penting yang hilang atau setidaknya menjadi barang langka di Indonesia selama pandemi Covid-19 ialah keteladanan.
Tidak terlalu sulit menangkap problem ini di tengah masyarakat. Di lingkup keluarga, tidak jarang orang tua yang mestinya memberikan contoh bagi keluarga dalam menerapkan protokol kesehatan justru tidak peduli terhadap Covid-19. Di tingkat kampung, para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang peran dan pengaruhnya diharapkan sebagai teladan untuk mendorong kesadaran warga tak jarang menampilkan sikap yang kebalikan.
Sementara di level yang lebih atas, lemahnya keteladanan dijumpai, salah satunya dalam bentuk kebijakan pemimpin daerah yang setengah hati atau malas untuk menangangi pandemi secara maksimal. Sikap buruk dicontohkan pula oleh beberapa kepala daerah dan pejabat yang melanggar protokol kesehatan dengan menggelar pesta ulang tahun, acara hajatan dan sebagainya.
Dengan kata lain problem keteladanan dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia terjadi hampir di semua level komunitas masyarakat, mulai dari level paling bawah hingga atas.
Dan kini problem itu semakin lengkap hingga ke puncak kepemimpinan lewat gambaran kerumunan warga di Maumere saat menyambut kedatangan Presiden Jokowi pada Selasa, 23 Februari 2021.
Aksi Spontan? Nanti Dulu!
Pihak Istana memberi penjelasan bahwa kerumunan Presiden Jokowi bersama warga masyarakat dalam kunjungan ke NTT tersebut terjadi secara spontan. Dijelaskan bahwa presiden hanya bermaksud menghargai warga yang telah antusias menunggu di sepanjang jalan.
Jika kejadiannya berlangsung bukan saat pandemi, alasan di atas tentu sangat bisa diterima dan wajar adanya. Akan tetapi dalam situasi sekarang, argumentasi atau movitasi "ingin menghargai antusiasme warga" layak dipertanyakan.
Sebab keinginan menghargai antusiasme tidak sebanding dengan ancaman keselamatan orang-orang yang berkerumun. Potensi penularan Covid-19 juga berlaku pada diri presiden yang meskipun sudah divaksinasi tapi tetap ada kemungkinan terpapar virus Corona.
Pihak istana berkata, "poinnya presiden tetap mengingatkan warga untuk menggunakan masker". Argumen itu terkesan menyederhanakan masalah dan ingin mencari pembenaran.
Faktanya meski Presiden Jokowi berusaha mengingatkan warga untuk menggunakan masker, kerumunan tetap terjadi dan banyak warga terlihat tak menggunakan masker. Andaipun mereka menggunakan masker, itu bukan pembenaran bagi berlangsungnya kerumunan. Sebab penerapan protokol kesehatan, seperti yang selama ini dikampanyekan ialah kepatuhan terhadap tindakan 3M (sekarang 5M) yang harus diterapkan sebagai kesatuan.
Argumen bahwa kerumunan tercipta karena aksi spontan dari Presiden Jokowi sepantasnya dikritik. Sebab meski presiden mungkin tidak bermaksud mengarahkan warga untuk berkerumun, tapi spontanitas presiden sebenarnya bisa dihindari dan diantisipasi jika presiden memiliki kepekaan yang lebih baik terhadap risiko pandemi.