"Guru di Indonesia, mulai dari jenjang TK sampai SMA/Madrasah memiliki pandangan intoleran dan radikal yang tinggi. Sebanyak 33 % di antaranya setuju menganjurkan berperang untuk mewujudkan negara Islam".
Begitulah temuan umum dari studi dan survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah pada 2018 silam. Temuan yang  mengejutkan karena proporsi guru yang memiliki kecenderungan intoleran dan radikalis ternyata cukup besar. Namun, tidak terlalu mengherankan sebab indikasinya telah tampak sejak lama.
Pada sebuah kesempatan di Universitas Gadjah Mada, Suhardi Alius yang saat itu menjabat kepala BNPT mengungkapkan bahwa intoleransi dan radikalisme telah menyebar luas di tengah masyarakat, termasuk ke lembaga pendidikan. Bahkan, seorang anak PAUD bisa memiliki sikap intoleran dengan tidak mau bersosialisasi karena menganggap orang lain sebagai kafir.
Maka dari itu kasus di SMK 2 Padang yang mewajibkan siswi nonmuslim mengenakan jilbab bukanlah persoalan baru. Penyimpangan yang dibungkus aturan sekolah dengan dalih melindungi akhlak, kearifan lokal dan menghindari gigitan nyamuk, pada dasarnya merupakan praktik intoleransi yang terakumulasi sejak lama.
Pabrik Intoleransi
Tak bisa dielak bahwa intoleransi telah merembes ke dalam ruang-ruang kelas. Paparannya menjangkiti kaum pendidik dan menular kepada para murid.
Ironis. Sekolah yang mestinya menjadi lembaga pengajaran dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan, multikulturalisme, serta moderasi beragama, justru mempraktikkan hal-hal yang bertentangan dengan Pancasila.
Kasus SMK 2 Padang hanya segelintir contoh dari praktik serupa yang terus berulang di berbagai tempat. Banyak contoh lainnya. Antara lain tentang guru di Jakarta yang menganjurkan murid-muridnya untuk tidak memilih siswa nonmuslim dalam pemilihan OSIS.
Kemudian pada 2019 di Gunung Kidul, Yogyakarta, sebuah sekolah dasar juga menjadi sorotan karena mewajibkan murid-muridnya mengenakan pakaian muslim. Sebelumnya di Banyuwangi seorang murid terpaksa gagal mendaftar ke SMP negeri karena sekolah tersebut mewajibkan semua siswi menggunakan jilbab.
Ada pula penolakan upacara bendera dan lagu kebangsaan Indonesia Raya di sebuah sekolah. Lalu kontroversi seruan "Tepuk Tangan Anak Saleh" yang liriknya diubah dan dinyayikan menjadi "Islam Yes, Kafir No". Tak boleh dilupakan tentang ajaran-ajaran intoleran dan radikal yang disisipkan ke dalam materi buku pelajaran sekolah.
Semua itu mengisyaratkan tingginya potensi intoleransi di lingkungan sekolah. Ada kecenderungan sekolah telah menjadi salah satu pabrik intoleransi. Tempat di mana bibit pandangan-pandangan intoleran bersemi, tumbuh, disebarkan hingga membuahkan perilaku serta praktik intoleran.