Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hanya di Indonesia: Pra PSBB-PSBB-PSBB Humanis-PSBM-PSBB Transisi-PSBB Ketat-PPKM-PPKM Update?

9 Januari 2021   09:13 Diperbarui: 9 Januari 2021   09:59 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mau pakai istilah apalagi, Indonesia? (dok. pri).

Lonjakan kasus positif Covid-19 di Indonesia menyentuh rekor angka psikologis sebanyak lebih dari 10.000/hari pada Jumat (8/1/2021). Isyarat bahwa upaya pengendalian selama hampir 1 tahun telah gagal membendung pandemi. Alih-alih melakukan pengetatan, pelacakan, dan pengujian masif, Indonesia justru asyik mengganti istilah-istilah. Corona ditangani dengan kata-kata dan tata bahasa.

Seperti sedang bermain utak-atik kata. Begitulah yang menonjol dari Indonesia sejak pertama kali Corona menyerang negeri.

Saat negara-negara lain bertindak cepat, cekatan, dan serius melakukan pembatasan sosial sampai mengunci wilayahnya, Indonesia terlihat santai. Menciptakan istilah, memodifikasi, mengubahnya, lalu membuat yang baru lagi.

Hasilnya?

Pandemi Covid-19 tak tertangani dengan baik. Angka penularannya terus melonjak tanpa bisa diprediksi puncaknya. Jumlah korban semakin melonjak. Sistem layanan kesehatan terancam kolaps karena banyak tenaga medis yang gugur dan kelelahan. Sementara daya tampung kamar rumah sakit telah menyentuh batas kegentingan.

Lalu apa responnya? Inilah luar biasanya kita. Solusinya tetap sama, yakni sekadar mengubah istilah tanpa perbaikan dan pengayaan esensi.

Pembatasan Sosial Basa-basi

Entah sudah berapa jilid judul peraturan yang menggunakan istilah PSBB di berbagai daerah di Indonesia. Tampak menjanjikan pada awalnya karena ada ancaman hukuman dan denda bagi yang melanggar. Akan tetapi kemudian tampak bahwa PSBB cenderung menjadi Pembatasan Sosial Basa-basi.

Sejak awal kita sudah berpolemik soal nama. Ada yang ingin "lockdown", ada yang usul "karantina wilayah", sampai dipilih untuk "PSBB" saja.

Ironisnya, setelah itu yang terjadi ialah pertunjukkan ketidakkompakan, ketidaktegasan, ego sektoral, dan disharmoni. PSBB tak pernah dijalankan sebagaimana mestinya. Setiap daerah, masing-masing kepala daerah, bahkan kementerian-kementerian yang berada di bawah komando langsung presiden, saling ingin berkompromi dengan PSBB versi masing-masing.

Itulah awal dari situasi genting yang dialami Indonesia sekarang. Selagi Covid-19 terus menyebar dan menjangkiti banyak orang, kita justru sibuk memikirkan bagaimana agar PSBB bisa dilonggarkan.

Istilah "skala besar" hanya menjadi slogan karena penerapan di lapangan hanya "skala kecil" yang disertai banyak "toleransi".

Kondisi diperparah ketika PSBB belum diemplementasikan secara efektif dan kasus Covid-19 mulai meninggi, Presiden Jokowi justru melakukan "blunder" dengan meluncurkan kampanye "New Normal" di stasiun MRT. Ambruk sudah pondasi pembatasan sosial akibat "new normal versi Indonesia" yang serba prematur.

(Baca: Setelah Presiden Jokowi Mengaku Salah Menangani Pandemi)

Pemerintah kemudian mengakui salah menggunakan istilah "new normal". Kosakata "new normal" digantikan dengan "adaptasi kebiasaan baru". Sayangnya esensi pembatasan sosial tak pernah diperbaiki.

Tak pernah ada ketegasan yang bisa menjadi pegangan. Apa yang diinstruksikan oleh Presiden selalu hanya berupa himbauan yang sepenuhnya diserahkan kembali kepada para pembantunya di daerah. Sementara kita saksikan begitu banyak inkompetensi di daerah.

Sayangnya leading sector penanganan pandemi di tingkat pusat terkesan menutup mata. Bahkan para leading sector itu saling mengeluarkan kebijakan yang melemahkan satu sama lain.

(Baca: Lagi-lagi Tak Kompak soal Rapid Antigen)

Pemerintah Daerah Malas

Satu demi satu muncul varian PSBB di sejumlah daerah. Dalihnya menyesuaikan karakteristik wilayah.

Ada daerah yang basa-basi dengan "Pra-PSBB". Alasannya sebagai masa percobaan dan sosialisasi. Ada pula yang menggunakan "PSBB Humanis" dengan dalih agar masyarakat tak panik. Padahal itu sekadar untuk menutupi keengganan bertindak tegas menegakkan aturan pembatasan sosial.

Kemudian berkembang "Pembatasan Sosial Berskala Mikro" atau "PSBM". Argumennya ialah tidak semua wilayah di satu daerah harus diperlakukan sama. Ada zona merah yang perlu diperketat, sedangkan zona hijau dan biru bisa dilonggarkan.

PSBM ini juga penuh basa-basi. Sebab zonasi merah-kuning-hijau di Indonesia tidak akurat. Dengan pengujian dan pelacakan Covid-19 yang sangat minim labelisasi zona telah melenakan para pengambil kebijakan dan menimbulkan rasa "aman semu" yang membuat penularan Covid-19 di tengah masyarakat tak terlacak sepenuhnya.

PPKM, PSBB versi 2021 (youtube kompas tv).
PPKM, PSBB versi 2021 (youtube kompas tv).
Jawa Tengah dan DIY adalah contoh daerah yang terlena dengan kenyamanan penangangan pandemi. Sempat dianggap mampu mengendalikan penularan dan menjaga banyak zona hijau, Jateng dan DIY merasa tidak perlu untuk menerapkan PSBB.

Agaknya DIY beruntung dan tertolong oleh aksi swadaya masyarakatnya. Lockdown lokal di tingkat kampung yang digerakkan oleh  komunitas-komunitas warga bisa sedikit menahan laju penyebaran Covid-19 pada masa awal pandemi.

(Baca: Semakin Banyak Local Lockdown di Yogyakarta)

Sayangnya itu tidak dibarengi dengan langkah tanggap pemerintah daerah. Intervensi pemerintah daerah di DIY bisa dikatakan minim.

Sedangkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dalam sebuah dialog bersama Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) pada akhir Oktober 2020 membanggakan keberhasilan mengendalikan pandemi tanpa PSBB. Sebaliknya mikro-zonasi yang diterapkan di Jawa Tengah diklaim telah sukses.

(Baca: Curhat Satgas Covid-19 di Jawa Tengah)

Apa yang terjadi setelah itu? Penularan Covid-19 di Jawa Tengah melonjak secara ugal-ugalan dan belum terkendali sampai sekarang. Kegentingan yang terjadi di Jawa Tengah dan DIY saat ini memperlihatkan tidak adanya pembelajaran dari kegentingan yang terjadi di DKI, Jawa Timur, Jawa Barat, serta daerah-daerah lainnya seperti Sulawesi Selatan dan Bali.

Nama Baru, Masalah Lama

Saat "Pembatasan Sosial Berskala Mikro" atau PSBM tak membuahkan hasil maksimal, kita diperkenalkan lagi dengan istilah "PSBB Transisi" yang populer diterapkan di DKI Jakarta. Hasilnya tetap sama. Pandemi tak jua terkendali.

Lalu sempat akan diterapkan "PSBB versi Ketat", tapi dianulir setelah terjadi kompromi dengan pemerintah pusat. Padahal Corona tak mengenal kompromi.

Terkini pada 6 Januari 2021 pemerintah mengumumkan akan memberlakukan "PSBB Jawa-Bali" selama 2 pekan mulai 11 Januari 2021. Beberapa daerah ditetapkan sebagai prioritas karena penularan Covid-19 dianggap semakin parah dan sistem layanan kesehatannya telah semakin kewalahan.

Lucunya, belum juga PSBB Jawa-Bali diterapkan, utak-atik istilah kembali terjadi. Pada 8 Januari telah lahir "PPKM" alias "Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat". Ternyata bukan hanya virusnya yang bermutasi, nama PSBB pun ikut mengalami mutasi.

Kebijakan baru sepantasnya membawa makna dan harapan baru. PPKM sebenarnya boleh dipandang sebagai babak baru penanganan pandemi di Indonesia.

Sayangnya itu mungkin takkan kita dapati. Jika mencermati instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2021, PPKM Jawa-Bali hanya sekadar PSBB versi 2021. Tak ada perubahan mendasar dalam esensi PPKM. Bahkan bisa jadi lebih lembek dari PSBB. Sebab PPKM hanya menitikberatkan pada pembatasan, bukan pelarangan.

Setiap daerah ternyata punya diskresi untuk menetapkan PPKM. Ambil contoh DIY yang dalam Instruksi Gubernur DIY nomor 1/INSTR/2021 akan menerapkan pembatasan work from home hanya sebesar 50%. Padahal instruksi pemerintah pusat menetapkan work from home sebesar 75%. Sementara Kota Surabaya hendak menawar agar PPKM tak perlu diterapkan di kota tersebut dengan sejumlah alasan.

Dengan kata lain disharmoni akan kembali membuat PPKM bernasib sama seperti PSBB yang gagal karena tak ada sinergi dan kekompakkan. Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa lingkaran setan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia belum berubah meski nama kebijakannya terus berubah. Rantai kebijakan dari pusat hingga daerah mudah terputus karena himbauan dan instruksi pemerintah pusat sering tak sejalan dengan pelaksanaanya di daerah.

Kini setelah hampir 1 tahun dicekam pandemi, kita tampak kebingungan dan serba gamang mengambil tindakan. Kita seolah tidak serius menangani pandemi. Akhirnya hanya menciptakan banyak kosakata yang lebih pantas diusulkan masuk ke dalam kamus bahasa.

Pra PSBB, PSBB, PSBB Humanis, PSBM, PSBB Transisi, PSBB Ketat, dan PPKM adalah daftar panjang dari "kolaborasi banyak kegagalan". Yakni, masyarakat yang abai, pemerintah yang tidak tegas, inkonsistensi kebijakan, serta pemerintah daerah yang malas.

Jangan-jangan para pejabat kita sudah mulai rapat untuk merancang nama dan istilah baru lagi. Mungkin kalau akhirnya diterapkan "lockdown" namanya akan menjadi "PPKM revisi", "PPKM revisi update", dan "PPKM fix!".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun