Agaknya DIY beruntung dan tertolong oleh aksi swadaya masyarakatnya. Lockdown lokal di tingkat kampung yang digerakkan oleh  komunitas-komunitas warga bisa sedikit menahan laju penyebaran Covid-19 pada masa awal pandemi.
(Baca: Semakin Banyak Local Lockdown di Yogyakarta)
Sayangnya itu tidak dibarengi dengan langkah tanggap pemerintah daerah. Intervensi pemerintah daerah di DIY bisa dikatakan minim.
Sedangkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dalam sebuah dialog bersama Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) pada akhir Oktober 2020 membanggakan keberhasilan mengendalikan pandemi tanpa PSBB. Sebaliknya mikro-zonasi yang diterapkan di Jawa Tengah diklaim telah sukses.
(Baca: Curhat Satgas Covid-19 di Jawa Tengah)
Apa yang terjadi setelah itu? Penularan Covid-19 di Jawa Tengah melonjak secara ugal-ugalan dan belum terkendali sampai sekarang. Kegentingan yang terjadi di Jawa Tengah dan DIY saat ini memperlihatkan tidak adanya pembelajaran dari kegentingan yang terjadi di DKI, Jawa Timur, Jawa Barat, serta daerah-daerah lainnya seperti Sulawesi Selatan dan Bali.
Nama Baru, Masalah Lama
Saat "Pembatasan Sosial Berskala Mikro" atau PSBM tak membuahkan hasil maksimal, kita diperkenalkan lagi dengan istilah "PSBB Transisi" yang populer diterapkan di DKI Jakarta. Hasilnya tetap sama. Pandemi tak jua terkendali.
Lalu sempat akan diterapkan "PSBB versi Ketat", tapi dianulir setelah terjadi kompromi dengan pemerintah pusat. Padahal Corona tak mengenal kompromi.
Terkini pada 6 Januari 2021 pemerintah mengumumkan akan memberlakukan "PSBB Jawa-Bali" selama 2 pekan mulai 11 Januari 2021. Beberapa daerah ditetapkan sebagai prioritas karena penularan Covid-19 dianggap semakin parah dan sistem layanan kesehatannya telah semakin kewalahan.
Lucunya, belum juga PSBB Jawa-Bali diterapkan, utak-atik istilah kembali terjadi. Pada 8 Januari telah lahir "PPKM" alias "Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat". Ternyata bukan hanya virusnya yang bermutasi, nama PSBB pun ikut mengalami mutasi.