Pandemi Covid-19 telah menimbulkan ledakan gaya hidup bersepeda. Ini tak lepas dari dorongan untuk hidup sehat dengan berolahraga guna mengatrol kekebalan tubuh.
Kini di mana-mana pegowes bermunculan dan menjadi pemandangan utama di jalanan. Baik di kota besar maupun di kota-kota kecil hingga pedesaan.
Sebagian dari pegowes itu memang pehobi yang sudah lama mengayuh sepeda. Namun, tak sedikit pula yang merupakan masyarakat awam yang terseret gelombang tren bersepeda.
Maraknya pesepeda selama pandemi Covid-19 akhirnya memunculkan sejumlah fenomena atau dampak susulan.
Pertama ialah lonjakan harga sepeda. Nilai tukar roda dua ini tak lagi jutaan, tapi telah berbilang belasan hingga puluhan juta. Menariknya banyak orang seakan tak masalah mengeluarkan banyak uang demi sepeda-sepeda itu.
Saya mengalami sendiri bulan lalu ketika harus mengganti transmisi belakang yang rusak. Ternyata untuk mendapatkan transmisi dengan merek dan tipe yang sesuai saya harus pre-order dan menitip sedikit uang muka ke toko sebagai jaminan bahwa saya tak akan membatalkan pesanan.
Kedua, setelah harga sepeda dan suku cadangnya melonjak, dalam dua bulan terakhir marak kejahatan jalanan yang mengincar para pesepeda. Begal sepeda, begitu istilahnya.
Begal sepeda mengincar barang bawaan pegowes. Kesan bahwa para pegowes merupakan orang yang berkantong tebal membuat mereka jadi incaran kejahatan.
Mirip jambret, aksi begal sepeda berlangsung cepat dan cenderung nekat karena sering dilakukan saat hari masih terang dengan disertai kekerasan. Tak pandang bulu, korbannya mulai dari masyarakat biasa, artis, hingga anggota TNI.
Ketiga, sekarang mulai muncul jasa pengawalan dan pengamanan pesepeda. Menurut saya ini sangat menarik karena selain merupakan bentuk respon atas maraknya begal sepeda, jasa "bodyguard" untuk pegowes juga membuka lapangan pekerjaan baru bagi sebagian orang.