Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Indonesia "Los Dol", 7 Bulan Pandemi Tanpa Langkah Strategis yang Berhasil

7 September 2020   13:39 Diperbarui: 8 September 2020   10:45 1739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah petugas memakamkan jenazah korban Covid-19 di DKI Jakarta (foto: AFP/Bay Ismoyo).

Pandemi Covid-19 di Indonesia memasuki angka tujuh bulan. Dalam tradisi Jawa tujuh bulan perlu dirayakan dan disyukuri.

Misalnya, masyarakat Jawa mengenal "mitoni" yang asal katanya "pitu" artinya "tujuh", sebagai ritual wujud syukur atas semakin dekatnya hari kelahiran bayi. Dengan demikian angka "7" dianggap sakral. Tujuh dimaknai sebagai simbol keberuntungan, pembawa harapan, dan kebahagiaan.

Begitu pula sebenarnya usia 7 bulan pandemi Covid-19 saat ini. Kita mestinya bisa melihat tanda-tanda harapan mengingat sudah banyak sumber daya diperas, waktu dihabiskan, tenaga dikeluarkan, biaya digelontorkan, dan nyawa dikorbankan. 

Mestinya angka tujuh menjadi titik balik harapan bahwa perang melawan pandemi bisa segera diakhiri dengan kemenangan yang kemudian dirayakan penuh syukur.

Sayangnya, angka tujuh kali ini bukan tentang sesuatu yang membahagiakan. Selama 7 bulan belum ada tanda-tanda yang lebih baik tentang pandemi di Indonesia.

Kecenderungan pemerintah dan otoritas kesehatan terkait Covid-19 yang membanggakan angka-angka kesembuhan sebenarnya bukan kabar baik. 

Meski untuk setiap pasien yang sembuh dan untuk setiap nyawa yang berhasil diselamatkan kita perlu bersyukur, tapi hal itu hanya semakin menambah jelas bahwa paradigma "menyembuhkan sebanyak-banyaknya" lebih dipilih oleh Indonesia dibanding"mencegah semaksimal mungkin".

Tak sulit menebak paradigma yang sifatnya reaktif-kuratif tersebut. Tidak adanya karantina wilayah, PSBB yang setengah hati, kebijakan yang tidak saling selaras, dan aturan yang lemah dengan dalih mencegah kerusakan ekonomi menandakan bahwa sejak awal Indonesia mengandalkan paradigma "menyembuhkan".

Paradigma tersebut telah memicu lahirnya beberapa kebijakan yang kontradiktif dan tak produktif. Ambil contoh, bukannya mengoptimalkan dukungan untuk penanganan kesehatan pada masa awal pandemi, pemerintah justru pertama-tama menggelontorkan dana untuk kampanye program yang sifatnya elitis.

Misalnya, sayembara konsep "new normal". Belakangan istilah new normal diakui oleh pemerintah sebagai kekeliruan. Namun, kekeliruan yang paling fatal ialah fakta bahwa daerah-daerah pemenang sayembara "new normal" justru menjadi daerah yang saat ini kedodoran mengatasi penyebaran pandemi di wilayahnya.

Klaim bahwa penyelamatan ekonomi dan kesehatan akan berlangsung secara paralel gugur dengan sendirinya melalui data dan fakta yang hari ini bisa kita simak bersama. 

Obsesi menyelamatkan ekonomi dengan menempatkan faktor risiko kesehatan sebagai prioritas kedua justru membuat Indonesia semakin tercekam dari banyak sisi.

Bukannya membaik, ekonomi justru diambang resesi. Langkah-langkah pemberian insentif untuk berbagai sektor, program pra-kerja, pembukaan kembali kegiatan ekonomi secara masif, hingga kebijakan coba-coba membuka pariwisata ternyata masih pahit hasilnya.

Pada saat yang sama penularan Covid-19 di tengah masyarakat semakin tinggi. Jumlah kematian bertambah dan fasilitas kesehatan kedodoran.

Paradigma "menyembuhkan sebanyak-banyaknya" yang dianut malah membuat pandemi semakin berlarut-larut karena mata rantai penyebaran virus tak tertangani secara maksimal. 

Paradigma ini memaksa tenaga medis berkerja rodi melebihi kapasitas fisik dan mental yang optimal. Akibatnya mereka pun ikut menjadi korban. Ratusan tenaga medis yang gugur adalah bencana di tengah pandemi.

Paradigma ini juga telah melemahkan kesadaran masyarakat yang sejak awal sudah sangat rendah. Semakin banyak orang menganggap Covid-19 tak ada bedanya dengan penyakit lain di mana dokter dan rumah sakit selalu siap dan mampu mengobati pasiennya. Apalagi "katanya" sudah ada obatnya dari alam.

Menghadapi kenyataan pahit gagalnya sejumlah langkah penyelamatan ekonomi, Indonesia mencoba "banting setir" dengan kembali mempromosikan upaya pencegahan. 

Kampanye 3M (Menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak) kembali didengungkan lebih lantang. Tindakan-tindakan yang "sedikit lebih tegas" juga coba ditempuh dengan memberi sanksi pelanggar aturan.

Sayangnya itu terlihat sebagai langkah yang hampir terlambat karena Indonesia sudah memasuki fase "serba terlanjur". Sudah terlalu banyak momentum yang kita sia-siakan sehingga setiap upaya untuk mengatur ulang kendali terlihat sangat berat.

Komitmen presiden bahwa pemerintah siap menarik tuas rem setiap saat belum terbukti sejauh ini. Tak terlihat ada usaha menarik rem. Justru yang tampak ialah rem telah bllong, sementara gas terus diinjak.

Begitulah kondisi Indonesia dalam fase "serba terlanjur". Kalau meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Deny Caknan kita sudah hampir "Los Dol". Artinya "teruskan saja", "semaumu saja, "terserah saja", atau "tak usah dipikir".

Memang terkesan pesimistis. Akan tetapi kita sebenarnya sudah diingatkan sejak awal lewat #IndonesiaTerserah yang beberapa bulan lalu menjadi topik di media sosial. Sekarang tagar itu mulai terlihat sebagai kenyataan.

Membangun optimisme lewat narasi tentang vaksin merupakan langkah terakhir yang tampaknya diandalkan oleh Indonesia saat ini. Uji coba vaksin yang gencar diberitakan sebagai pembawa harapan menjadi semacam propaganda untuk meyakinkan masyarakat bahwa pandemi akan segera bisa dikendalikan.

Boleh saja pemerintah mengklaim pandemi sudah lebih terkendali saat ini. Tapi fakta yang ada juga terlalu terang untuk dikaburkan.

Terlalu menggantungkan harapan pada vaksin justru mendekatkan kita pada titik kritis yang baru. Kita perlu bersiap dengan sangat hebat jika vaksin yang diharapkan ternyata gagal atau datang lebih lambat dibanding perkiraan.

Kini setiap orang seakan-akan diharuskan berjuang sendiri menjaga hidupnya masing-masing. Sedangkan pemerintah bertaruh dengan senjata terakhirnya, yakni vaksin.

Perlu diwaspadai pula bahwa narasi-narasi yang masif tentang vaksin tanpa diiringi pembaruan paradigma justru akan membuahkan kontradiksi bagi berbagai upaya pencegahan yang lebih utama, yakni mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.

Tanda-tandanya mulai terlihat. Semakin banyak masyarakat yang menganggap remeh Covid-19. Disadari atau tidak, komunikasi yang terlalu obsesif tentang vaksin telah melenakan kewaspadaan masyarakat. Padahal masih banyak ketidakpastian dan banyak yang belum kita ketahui tentang Covid-19.

Entahlah apakah ini berarti Indonesia sangat percaya diri atau memang benar kita sudah "Los Dol"? Yang jelas tak ada syukuran "tujuh bulanan" karena sejauh ini belum tampak tanda-tanda kemenangan kita melawan pandemi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun