Urusan membuat aturan Indonesia jagonya. Begitu pula soal protokol kesehatan pencegahan Covid-19, kita punya banyak. Namun, soal pengawasan dan pelaksanaannya, kita selalu punya masalah besar.
Pagi baru menginjak pukul 6. Matahari yang belum lama terbit masih membawa sinarnya yang kemerahan. Hawa dingin pun menyelimuti Stasiun Lempuyangan Yogyakarta pada Sabtu, 18 Juli 2020.
Beberapa porter terlihat hilir mudik menawarkan jasa membawakan barang bawaan calon penumpang. Seragam oranye mereka tampak lebih rapat sekarang karena dilengkapi sarung lengan panjang, masker dan beberapa di antaranya juga mengenakan face shield.
Sementara itu dua orang petugas sudah siaga di meja pemeriksaan dokumen calon penumpang. Mereka bertugas menyaring calon penumpang kereta api jarak jauh sebelum masuk ke ruang tunggu keberangkatan.
Meski masih pagi sudah ada beberapa orang yang antre untuk diperiksa kelengkapan dokumennya, terutama surat bebas Covid-19. Tak mengherankan karena pagi itu ada dua kereta yang akan berangkat dari Stasiun Lempuyangan, yakni kereta Joglosemarkerto (Jogja-Purwokerto-Semarang-Solo) dan Sri Tanjung (Jogja-Banyuwangi).
Kedua kereta tersebut sudah sejak Juni lalu dioperasikan kembali seiring pemberlakuan tatanan hidup dan kebiasaan baru pada masa pandemi.
![Stasiun Lempuyangan Yogyakarta pagi itu (dok. pri).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/07/23/20200719-062331-fotor-5f18f722d541df58ba6c97e2.jpg?t=o&v=770)
Bagi saya kerancuan ini menimbulkan masalah serta risiko tersendiri. Salah satunya berdampak pada pelayanan yang cenderung diskriminatif. Misalnya, saya tidak mendapatkan face shield.
Sementara penumpang lain yang rute perjalanannya lebih pendek, tapi karena menumpang kereta jarak jauh maka ia akan mendapatkan face shield. Untungnya saya sudah menyiapkan face shield sendiri karena sejak awal menganggap protokol kesehatan KAI perlu dikoreksi.
Saat boarding sejumlah pemeriksaan kembali dilakukan. Selain pemeriksaan tiket dan kartu identitas, juga dilakukan pengukuran suhu tubuh.