Saya bangun agak terlambat pagi ini. Sebabnya baru tidur pukul satu dinihari. Untung saat terjaga masih pukul lima sehingga cukup waktu untuk menyiapkan hari raya.
Meski berlebaran seorang diri jauh dari keluarga karena tak bisa mudik, Idulfitri tetap perlu dirayakan dan disyukuri. Tentu dengan suasana dan pemaknaan yang berbeda mengingat virus Corona masih ada di sekitar kita.
Pukul 06.30 salat sunah Idulfitri dua rakaat saya jalankan. Setelah selesai dilanjutkan dengan berdoa semampunya. Saya panjatkan doa untuk orang tua, saudara, diri sendiri, serta bangsa dan negara. Tak lupa doa agar pandemi Covid-19 segera diangkat dari muka bumi, khususnya negeri ini.
Aneh rasanya salat Idulfitri seorang diri. Teringat bagaimana salat Idulfitri setahun kemarin di masjid di kampung halaman. Ketika itu saya datang lumayan pagi sebelum pukul 06.00 sehingga dapat tempat lumayan dekat dengan posisi imam. Masjid itu penuh kenangan karena sejak kecil selalu jadi tempat kami salat berjamaah sebelum dibangunnya mushola di dekat rumah.
Biasanya setiap salat Idulfitri saya datang membawa koran dan sajadah sekaligus. Itu karena tempat salat tidak berada di dalam ruangan masjid, melainkan di halamannya. Sejumlah karpet, tikar, dan terpal sebenarnya sudah dihamparkan sebagai alas. Namun, kebiasaan sejak kecil yang selalu membawa koran ternyata tak bisa dihilangkan begitu saja.
Sementara Idulfitri kali ini sangat berbeda. Tanpa orang tua dan saudara. Tanpa menyimak khutbah dan tanpa prosesi bersalam-salaman setelahnya. Tanpa kepastian kapan pandemi ini akan berakhir dan kapan kami bisa berkumpul lagi.
Walau demikian saya merasakan semuanya berlangsung wajar pagi ini. Padahal sejak awal Ramadan saya mengira lebaran ini akan diselimuti suasana sedih tak berkesudahan. Bayangan suasana yang mellow telah muncul sebelumnya selama berpuasa. Tak bisa mudik, tak bisa sungkem kepada orang tua, dan tak bisa bercengkerama dekat dengan para saudara bagai kenyataan yang sulit diterima.
Dan memang suasana haru itu sempat menyelimuti saat kami sekeluarga terhubung melalui layar smartphone. Saya, kakak, dan adik berkumpul bersama ibu dan bapak di ruang virtual tadi pagi sekitar pukul 07.30. Turut pula dua keponakan kecil yang selalu membuat heboh.
Belum apa-apa, ibu sudah menangis. Ucapannya terbata diiringi isak dalam kata. Untung itu tak terlalu lama berlangsung. Kakak segera muncul bersama dua anak kecil di sebelahnya. Maka dalam suasana yang sebenarnya diliputi keharuan dan luapan rindu yang mendalam, kami bisa lebih ceria.
Bergiliran kami saling mengucapkan maaf. Memohon ampun atas kesalahan dan ketidaksanggupan memeluk secara fisik.
Kadang suara kami bertabrakan karena satu sama lain seakan tak sabar untuk memulai bicara. Jelas ada rindu yang tertahankan lagi. Akan tetapi ruang keluarga virtual pagi tadi lumayan ceria. Setidaknya itu yang terlihat di layar smartphone kami.