Akan tetapi bukan sisi itu yang tampak. Justru sisi lainnya yang telah menumbuhkan kebijaksanaan kita dalam mengekang hawa nafsu dan hasrat konsumsi yang menggebu-gebu.
Pertama, ketidakpastian memicu kita untuk melakukan penghematan. Telah ada banyak studi yang memprediksi akhir pandemi Covid-19. Secara umum Corona diprediksi akan mulai mereda pada Juni hingga Juli atau sesaat setelah Ramadan berakhir. Kabar itu memunculkan semangat dan optimisme.
Namun, sebenarnya belum ada kepastian yang benar-benar melegakan sejauh ini. Di luar prediksi tentang akhir pandemi, lebih banyak ketidakpastian yang menanti. Bahkan, ketidakpastian itu makin jelas hari demi hari. Mulai dari orang yang kehilangan pekerjaan, dirumahkan, dipotong gajinya, tutup usahanya, terkuras tabungannya, menurun daya belinya dan sebagainya.
Dihadapkan pada kondisi semacam itu, banyak orang yang mulai bersikap lebih rasional dalam menjalani puasa Ramadan. Menghemat pengeluaran jadi satu-satunya pilihan yang logis. Maka jajanan pendamping berbuka bukan lagi jadi kebutuhan utama. Tak perlu lagi memasak aneka menu pilihan sebanyak selera setiap anggota keluarga.
Apapun itu, Corona selama Ramadan telah menimbulkan ketidakpastian yang menuntut kita meresponnnya secara bijaksana, yakni dengan mengetatkan pengeluaran.
Kedua, physical distancing menjaga kita dari godaan. Bukan berarti sepinya penjual takjil dan street food pada Ramadan kali ini merupakan kabar baik. Pelaku usaha jajanan Ramadan tentu terpukul.
Namun, tak dimungkiri bahwa dorongan konsumtif kita selama ini salah satunya dipicu oleh pandangan mata kita yang mudah tergoda oleh aneka macam jajanan, makanan, dan minuman yang memenuhi jalanan selama Ramadan. Penerapan physical distancing yang membatasi aktivitas perekonomia di tempat-tempat umum telah menjauhkan jarak kita dari aneka takjil yang menggoda. Pada saat bersamaan jumlah penjualnya pun tak lagi banyak.
Ketiga, kelangkaan mendorong kita untuk mencari subtitusi. Seolah menjadi berkah tersembunyi bahwa Corona telah memperpanjang kelangkaan sejumlah produk seperti gula pasir. Selain sulit ditemui, harganya pun melambung tinggi.
Kondisi ini disikapi secara bijaksana oleh sebagian masyarakat. Kelangkaan gula pasir menguatkan motivasi banyak orang untuk mengurangi konsumsi aneka hidangan yang serba manis. Dengan sendirinya belanja produk-produk tertentu ikut berkurang. Sekarang orang merasa cukup dengan kurma atau teh manis saja. Tak lagi memaksakan diri untuk menambahnya dengan kolak dan minuman segar lainnya.