Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buta Pandemi, Jalanan Yogyakarta Mulai Ramai Lagi Meski Corona Makin Mewabah

17 April 2020   10:29 Diperbarui: 17 April 2020   10:45 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi ini memperlihatkan sebuah fakta. Soal menangani bencana alam kita memang cukup berpengalaman dan eruji, tapi terkait bencana non alam dan pandemi kita masih buta.

Kesan buta pandemi tampak pada level penentu kebijakan sampai masyarakat. Pada level pemerintah pusat kita menyaksikan maju mundur langkah penanganan Covid-19, kebijakan yang saling kurang sinkron antar lembaga, hingga adu keinginan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sementara buta pandemi di level masyarakat dipengaruhi kesenjangan komunikasi dan pengetahuan. Bagi ahli kebencanaan, ahli kesehatan atau pakar epidemi, bencana Covid-19 dipahami dari sudut pandang ilmiah. Sementara bagi banyak masyarakat Indonesia bencana yang penyebabnya tidak kasar mata sering dipandang secara subyektif dengan pengaruh kebiasaan dan keyakinan seperti wabah adalah ujian, takdir, dan teguran Tuhan. Bebannya semakin bertambah manakala pemerintah terlalu kukuh memandangnya dari sudut pandang ekonomi.

Tingkatkan Kapasitas
Secanggih apapun teknologi, sebanyak apapun kamar rumah sakit yang disiapkan, dan seterampil apapun tenaga medis, tidak akan optimal jika kapasitas dan kesadaran masyarakat rendah.

Menarik jika menganalisis pendekatan awal yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong respon masyarakat terhadap pandemi Covid-19. Narasi-narasi Presiden Jokowi, Menteri Kesehatan, dan tim Gugus Tugas pada awal wabah menerpa Indonesia memperlihatkan upaya persuasi yang mengharapkan kesadaran individu dan komunitas. Ini terlihat sekali pada dua minggu pertama.

Upaya tersebut bisa dipahami karena pendekatan komunitas memberi peluang besar untuk melawan pandemi. Syaratnya masyarakat harus memiliki kapasitas yang baik untuk memahami, menanggapi, dan mencegah penyebaran Covid-19.

Oleh karena itu, sosialisasi gencar dilakukan oleh pemerintah dibantu banyak pihak melalui berbagai cara dan beragam media. Aparat di lapangan juga terus menerus berusaha menanamkan kesadaran pada masyarakat. Tujuannya ialah meningkatkan kapasitas dan kesiapsiagaan masyarakat agar mau bersama-sama menciptakan budaya keselamatan dan saling melindungi di tengah bahaya Covid-19.

Namun, pola pikir dan perilaku reaktif-kuratif masyarakat Indonesia membuat banyak orang cenderung baru akan sadar jika dirinya atau keluarganya sudah terserang. Oleh karena itu, pemerintah lalu mulai menempuh pendekatan lain yang lebih "menakutkan". Salah satunya dengan membuka data jumlah pasien dan ODP secara nasional. Harapannya masyarakat yang buta pandemi akan semakin sadar.

Sayangnya, pemerintah juga belum menampilkan kapasitas yang optimal. Mulai dari pengambilan keputusan hingga kerja sama antar kelembagaan terlihat adanya ketidakcukupan dalam mengelola pandemi. Beberapa arahan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi memang tegas. Namun, pada tingkat sistem dan kebijakan sering dengan mudah terlihat adanya ketidaksesuaian dengan tujuan yang ingin dicapai.

Kabar baik yang tidak dikelola dengan hati-hati bisa mendorong masyarakat keluar rumah tanpa waspada (dok. pri).
Kabar baik yang tidak dikelola dengan hati-hati bisa mendorong masyarakat keluar rumah tanpa waspada (dok. pri).
Penyesuaian kondisi lokal daerah juga sering menemui dilema dengan kehendak pemerintah pusat. Misalnya dalam hal komunikasi. Perbanyakan kabar baik seputar sembuhnya pasien, tidak adanya penambahan pasien, dan seruan yang terlalu polos tentang manfaat sinar matahari, justru menimbulkan persepsi keliru di tengah masyarakat.

Informasi positif memang menjadi kabar baik. Akan tetapi informasi positif yang tidak terkendali bisa membentuk persepsi bahwa kondisi sudah aman. Ini bisa mempengaruhi masyarakat untuk keluar rumah tanpa bersikap waspada. Kondisi jalanan Yogyakarta yang mulai ramai lagi boleh jadi dipengaruhi oleh persepsi keliru semacam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun